3.1 All Because of The Kite

832 101 15
                                    

Dua pasang bola mata tampak saling bersitatap. Menyorot begitu sengit satu sama lain. Mungkin jika ini adalah dunia komik, di antara keduanya itu kini telah tergambar sebuah kilatan petir dengan tulisan "VS" di tengahnya.

"Aku jagoannya di sini, kak. Berani sama aku?!"

"Berani lah. Aku lebih tinggi dari kamu tau."

"Heleh pamer... Aku juga bakalan tinggi."

"Kapan?"

"Ya nanti! Kepo amat."

Yang lebih pendek tampak menyilang kedua tangannya di depan dada dengan angkuh, sedangkan yang lebih tinggi hanya berdiri tegak dengan raut tak mau kalah. Di lain sisi, dua orang remaja laki-laki menatap mereka dalam diam sembari duduk di atas gelaran karpet plastik. Tak ada satu niat pun dari mereka untuk melerai keduanya.

"Yakin mau lawan aku?! Bisa apa kakak coba aku tanya!?"

"Dih songong banget. Nanti kalau kalah nangis."

"Enggak ya! Aku punya si jabrik, layangan besar gambar ikan pari tau! Jagoanku nih. Punya apa kakak?!" Yang lebih pendek menyombongkan diri, mengangkat sebuah layang-layang besar di depan dadanya.

"Punya panjul si bintang laut. Lebih keren dari ikan pindang punyamu itu." Yang lebih tinggi masih tak mau kalah. Ia juga menunjukkan layangan besar bergambar Patrick dengan mata bulat yang terlihat besar.

"Pari bukan pindang!!"

"Nyenyenye...."

"Kalian berdua sebenernya ngapain sih?!"

Omongan mereka sama sekali terdengar tidak berguna, hingga membuat salah seorang remaja laki-laki akhirnya angkat bicara. Masih dalam posisi yang sama, duduk di bawah pohon rindang menjadikan karpet plastik sebagai alasnya.

"Sssttttt Ricky diem! Sena mau ngajak duel nih bocil, biar tau dia kehebatan Sena dalam bermain layang-layang!"

"Ayok! Siapa takut?!" Saut Ucup Solehudin—nama dari sang bocah laki-laki— yang sempat Sena ketahui dari bordiran name tag di samping dada sebelah kirinya. Ya, bocah itu memang masih menggunakan seragam merah putih. Namun kerapihannya benar-benar tak lagi terlihat, lengannya tergulung ke atas dan atasan putihnya dengan sengaja ia keluarkan.

"Yang kalah, jajanin es doger mamang di depan situ ya!" lanjut si bocah, menunjuk pada sebuah gerobak pangkal pinggir jalan.

"OKE DEAL!"

Kini mereka telah bersiap menerbangkan layang-layang milik masing-masing. Raut wajah keduanya tampak begitu serius seolah menganggap duel layangan ini adalah sebuah liga champion.

Ricky bersama Juna hanya menggeleng heran. Abang ke-empatnya itu memang beda. Di saat kebanyakan orang menjadikan lapangan sebagai arena olahraga, Sena justru menjadikannya sebagai tempat untuk berduel layang-layang melawan anak ingusan yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sebenarnya tujuan awal para putra adhinatha kemari itu hanyalah sekedar singgah semata, setelah ketiganya baru saja berkeliling komplek menggunakan sepeda masing-masing untuk membeli cireng dan tahu bulat. Namun segalanya berubah, tatkala netra Sena mulai tertarik pada sorang penjual layang-layang dekat lapangan.

Ia membeli salah satunya, yang sekarang telah diberi nama Panjul oleh Sena. Untuk filosofinya sebenarnya bermula dari celetukan Sena saja, saat ia melihat bagian kepala si patrick memiliki sebuah tonjolan di belakang. Dalam sekali ucap "PANJUL", Sena mengesahkannya. Tolong jangan lupakan bahwa Sena selalu memiliki pemikiran random dan aneh di otaknya, ya!

Juna bahkan sudah mencoba melarangnya, karena tentu menurut putra ke-lima adhinatha itu membeli layangan adalah hal yang tidak berguna. Namun Sena terlalu bebal, ia lantas melangkah lebih dulu meninggalkan kedua adiknya menuju lapangan, hingga ia berakhir bertemu dengan Ucup, si bocah superior. Keduanya beradu argumen dan kini terlihat tengah berduel layang-layang dengan jagoan masing-masing.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang