07

844 69 0
                                    

Aku duduk di teras rumah, memandangi langit senja yang mulai beranjak gelap. Udara pegunungan terasa sejuk, segar, dan membuat tubuh yang letih seakan dihidupkan kembali. 

Kakiku masih terasa pegal setelah berjalan cukup jauh dari sekolah tadi siang. Rasanya enggan untuk segera menulis laporan harian seperti yang sedang dikerjakan Mita di ruang tengah. Malam nanti saja, pikirku. Sekarang waktunya bersantai, menikmati momen-momen hening di Desa Hamparan Bintang ini.

Sambil bersandar, mataku menangkap bayangan Fiqih yang sedang duduk di dekatku. Ia tampak sibuk membongkar isi tasnya. Sepertinya dia mencari sesuatu, tapi wajahnya terlihat sedang kebingungan.

"Fiq, di sini ada warung nggak, sih?" tanyaku untuk memecah kesunyian.

Fiqih terus mengaduk-aduk tasnya, masih tidak menggubrisku. Aku hanya menggeleng sambil menahan kesal.

"Fiq!" panggilku lagi, lebih keras kali ini.

Dia akhirnya mendongak. "Ya?"

"Sibuk ngapain, sih?"

Kulihat wajahnya sedikit putus asa. "Kayaknya ... buku catatan laporan gue ketinggalan di sekolah."

Aku hanya menghela napas. Masalah kecil begitu dibawa serius. "Kenapa juga harus panik gitu, besok kan bisa diambil."

Dia hanya mengerucutkan bibirnya, tampak sedikit kesal dengan reaksiku yang tidak simpati. Dengan wajah cemberut, Fiqih berjalan masuk ke dalam. Ia meminta Mita untuk membantunya mengingatkan esok hari. Keduanya pun mulai berbicara, suara mereka hanya terdengar sayup-sayup dari dalam.

Aku kembali menyandarkan punggung di dipan kayu panjang yang ada di teras, meluruskan kaki sambil memejamkan mata. 

Desa ini benar-benar berbeda dari hiruk pikuk kota yang penuh kesibukan dan polusi. Di sini, udara terasa begitu segar, tanpa kebisingan klakson atau asap kendaraan. Hanya ada suara alam, burung-burung, dan angin yang berhembus tenang. Rasanya damai sekali.

Seketika pikiranku melayang pada satu nama yang sejak tadi muncul berkali-kali yaitu Dimas. Satu-satunya orang yang membuatku sedikit dongkol di desa ini. 

Entah kenapa, hanya padaku dia bersikap dingin, sementara dengan yang lain, terutama Mita, dia bisa terlihat begitu ramah dan bahkan tersenyum. 

Jujur saja, aku sedikit kesal. Kenapa aku selalu jadi sasaran ketusnya, padahal aku tidak pernah merasa melakukan hal yang salah. Iya, sih, mungkin aku sempat mengganggunya gara-gara kecoa di kamar mandi, tapi apa iya segitunya?

Aku menghela napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa gemas itu.

*

Aku melirik jam tangan. Pukul setengah delapan malam. Kami sudah selesai makan malam dengan menu sederhana tapi memuaskan. Telur dadar yang hangat, nasi putih, kacang panjang rebus, dan sambal buatan Fiqih yang benar-benar mantap. Aku makan dengan lahap, bukan karena lapar, tapi karena rasanya enak sekali.

"Udah kenyang?" tanya Fiqih sambil tersenyum, melihatku menyandar puas di dipan kayu teras rumah.

"Banget! Makasih banget ya, Fiq, makanannya enak banget!" ucapku tulus.

Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, seolah bangga masakannya disukai. Lalu, tiba-tiba, dia menatapku dengan tatapan mengingat sesuatu.

"Tadi siang lo nanya soal warung, kan?" tanyanya berusaha mengingat.

Aku tertawa kecil, mengangguk. "Iya. Gue kira lo nggak denger."

Fiqih menggaruk kepalanya. "Denger, kok. Cuma ya, lagi nggak fokus."

"Nggak apa-apa. Lagian cuma nanya doang," sahutku santai.

"Warungnya ada, Nad, deket sini aja," katanya sambil menunjuk arah ke luar. "Di deket rumah Pak Kades, selisih empat rumah dari sini, kalau nggak salah."

"Oh ya?" Balasanku terdengar biasa saja, tapi sebenarnya jantungku sedikit berdebar. Nama Pak Kades langsung mengingatkanku pada anak laki-lakinya. Cowok itu yang sudah sejak awal membuatku kesal tapi ... entah kenapa, pikiranku tak bisa lepas darinya. Aku berusaha menahan senyum, takut Fiqih menyadari perubahan ekspresi di wajahku.

"Oh, iya! Gue tau kok di mana rumahnya!" kataku mencoba terlihat santai. "Kalau gitu, gue ke sana sekarang, ya. Mau sekalian beli camilan buat nanti malam."

"Mau gue temenin?" tawar Fiqih sambil menatapku serius.

Aku langsung mengibaskan tangan, menggeleng cepat. "Nggak usah! Gue bisa sendiri kok, tenang aja. Lagian sekalian mau cari angin, refreshing."

Fiqih mengangguk, paham bahwa aku butuh waktu sendirian. Di desa ini, semua orang sudah tahu siapa kami, mahasiswa KKN yang membantu di desa selama beberapa bulan. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan soal keamanan.

Setelah mengambil jaket dan mengenakannya, aku melangkah keluar. Aku melambai ke arah Fiqih sambil menggenggam ponsel, bersiap mengaktifkan senter jika nanti jalanan terlalu gelap. Maklum aku terbiasa dengan kota yang penuh lampu, bukan desa yang minim pencahayaan seperti ini.

"Hati-hati di jalan ya, Nad," Fiqih berpesan lagi. Kali ini suaranya terdengar sedikit ragu, seolah masih khawatir membiarkanku pergi sendirian.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menenangkan. "Iya, santai aja. Gue cuma sebentar, kok."

Langkahku perlahan menyusuri jalan setapak yang membentang di depan rumah. Angin malam berhembus sejuk, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Hening. Berbeda sekali dengan suasana di kota. 

Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati suasana tenang ini. Di desa, semua terasa lebih damai. Ini adalah sebuah ironi yang menyenangkan.

Setiap langkah mendekatkan aku pada rumah Pak Kades, dan entah kenapa jantungku sedikit berdebar saat membayangkan kemungkinan bertemu dengan Dimas. Ah, kenapa sih dia selalu ada di pikiranku? Aku menghela napas sambil menahan senyum yang hampir berkembang.

*

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang