Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya, tapi bukan karena sudah cukup tidur. Rasanya semalaman aku hanya mondar-mandir memeriksa jam di ponsel yang entah kenapa jarumnya seakan bergerak seperti siput. Ketika jarum pendek menunjukkan di angka lima lewat, aku langsung bangun dan keluar kamar.
Kamar ini hanya ditempati aku dan Mita. Tapi jangan harap ada obrolan hangat atau sekadar tegur sapa di antara kami. Suasana dingin tetap terasa, meski sebenarnya kami sekamar.
Kusibak tirai yang berfungsi sebagai pintu, keluar ke ruang tengah atau ruang tamu, sulit juga mendeskripsikannya karena ruangnya multifungsi. Di sana, Fiqih, Sobara, dan Adri masih tidur pulas. Fiqih meringkuk di bawah selimut, sementara Adri memeluk kaki Sobara dalam posisi tidur yang sangat aneh. Sungguh pemandangan yang membuatku ingin tertawa.
Aku melangkah pelan-pelan, mendekati Fiqih yang tampak sangat lelap. Dengan ujung jari, kusentuh perlahan kakinya sambil berbisik, "Fiq ... Fiqih ...."
Tidak ada respon. Kubisiki lagi namanya, agak kesal kali ini, tapi tetap saja dia tak kunjung terbangun. Aku hanya bisa mendesah. Sebenarnya aku ingin mandi, tapi entah kenapa membayangkan berjalan sendirian ke dapur di saat pagi buta dan hanya ada satu lampu kecil yang menyala membuatku ragu. Belum lagi hujan gerimis masih terdengar di luar. Aku tidak mau kalau akhirnya bertemu 'penunggu' pedesaan seperti di film-film horor yang pernah kutonton. Ih, merinding!
"Lo mau ke dapur?" Suara seseorang tiba-tiba saja menyentakku.
Aku berbalik dan menemukan Mita sudah berdiri di depan pintu kamarku. Tanpa kacamata, matanya terlihat sedikit lelah, tapi tatapannya tetap saja dingin seperti biasa.
"Iya," jawabku singkat.
"Ayo. Aku juga mau mandi." Dia berjalan melewatiku, mendahului menuju dapur.
Aku hanya terdiam, agak kaget sekaligus tak percaya. Mita mengajakku? Apa karena dia baik hati atau sebenarnya dia takut sendirian seperti aku? Entahlah. Yang jelas, sekarang aku merasa lebih nyaman pergi ke dapur bersamanya. Setidaknya aku punya teman meski hubungan kami tidak begitu akrab.
Sambil melangkah ke dapur di belakang Mita, tiba-tiba pikiranku melayang ke hal yang sama sekali tak kusangka yaitu Dimas. Sebenarnya, apa sih alasannya kemarin menunggu aku selesai mandi di rumahnya? Terutama ketika kondisi kamar mandi di desa ini begitu sederhana. Bahkan pintu kamar mandi hanya terbuat dari kayu tipis yang kurang rapat, nyaris tak ada privasi.
Sepertinya aku harus bertanya pada Dimas nanti.
*
Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, aku memang selalu merasa dekat dengan dunia anak-anak. Mereka adalah lembaran putih yang polos, dan bisa jadi, keceriaan dan kepolosan mereka itulah yang membuatku tertarik.
Memang, ada beberapa teman yang suka berkomentar, mengatakan bahwa kepribadianku di luar kampus tidak cocok dengan jurusanku. Tapi, mimpi dan profesi adalah hak kita sendiri, bukan? Bukan berarti gaya hidup suka bersenang-senang tidak cocok dengan keinginan menjadi guru SD. Lagipula, selama Mama mendukung, kenapa aku harus peduli dengan komentar mereka?
Pagi ini, aku bersama empat temanku sudah berdiri di depan bangunan sekolah yang akan menjadi tempat kami mengabdi selama tiga bulan ke depan. Tatapanku terpaku pada kondisi sekolah di hadapanku. Jauh dari yang kubayangkan.
Sekolah ini hanya terdiri dari satu bangunan panjang yang terbuat dari kayu dengan enam pintu berjajar. Di bagian depan, papan nama bertuliskan "SDN Hamparan Bintang" tergantung, terlihat agak miring karena paku penyangganya sedikit longgar. Lapangan di depan sekolah masih becek karena hujan semalam, dan beberapa anak terlihat berlarian tanpa alas kaki, hanya mengenakan sandal jepit bahkan ada yang benar-benar bertelanjang kaki. Pemandangan ini membuat hatiku terasa miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...