Sudah beberapa hari terlewati. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan di desa ini. Kami berlima—aku, Fiqih, Mita, Sobara, dan Adri— seolah sudah menjadi bagian dari warga, bukan sekadar tamu dari kota yang datang dan pergi.
Banyak kegiatan yang kami lakukan, dan aku merasa bangga bisa memberikan kontribusi nyata bagi desa ini. Bukan hanya sekedar menjadi pengajar di sekolah, kami juga terlibat dalam penyuluhan kesehatan di posyandu setiap hari libur.
Senam pagi bersama warga desa menjadi salah satu hal favoritku. Aku menyukai suasana ceria itu, terutama ketika melihat Dimas berolahraga dengan penuh semangat setelah senam.
Pagi itu, Dimas terlihat segar, tubuhnya berkilau terkena sinar matahari. Dia sering ikut bermain sepak bola dengan anak-anak desa. Dan di sana, di pinggir lapangan, aku duduk menyaksikannya dengan rasa kagum bercampur sedikit kesal setiap kali Lala, gadis desa yang malam itu menghampiri Dimas, berteriak menyemangati seolah dirinya cheerleaders.
"Yay! Dimas, kamu bisa! Go, go, go!" teriak Lala dengan suara yang nyaring, seolah-olah dia sedang di stadion.
Norak! pikirku. "Dia pikir ini pertandingan resmi atau apa?"
"Eh, Nad," Fiqih mendekat, napasnya masih tersengal setelah bermain. Dia baru saja selesai bertanding dan sepertinya timnya, yang diisi para jagoan desa, berhasil mengalahkan Dimas.
"Nanti ada kerja bakti di mushola, ya," katanya sambil menerima sebotol air mineral yang kuulurkan.
"Oh ya? Kapan?" tanyaku, tetap tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Dimas yang masih asyik bermain.
"Besok," jawab Fiqih, matanya berbinar. "Lo harus ikut, Nad."
"Minggu? Yah ... padahal gue mau ngajakin lo ke kota," keluhku. Rindu pada mama makin menjadi-jadi. Sudah lama sekali kami tidak video call.
"Lo kan bisa telepon di rumah Pak Darma." Fiqih menyarankan.
Mana mungkin aku ingin ke rumah Dimas sementara sejak malam itu kami tak saling bicara? Dia bahkan tidak melirikku sedikit pun, seolah aku seperti hantu di ruang guru.
"Yaudah, deh." Suaraku datar. Dengan berat hati, aku beranjak mendekati Mita yang duduk bersama Sobara dan Adri.
"Mita," sapaku lalu duduk di sampingnya. Mita hanya menoleh sepintas, lalu menatap lurus ke depan. Jarak antara kami seolah terbentuk oleh dinding tak terlihat.
"Lo nggak rindu sama nyokap lo?" tanyaku, berusaha membuka percakapan.
"Setiap hari gue rindu," jawab Mita pelan, nada suaranya tenang seakan mengabaikan gejolak hatiku.
"Kalau gitu ... lo mau nggak ke kota sama gue? Di sana pasti ada sinyal, dan kita bisa video call sama nyokap kita," ajakku dengan antusias. Namun, yang kulihat hanya senyum pahit di wajahnya.
Mita tidak menjawab. Dia memilih berdiri dan menjauh, meninggalkanku dalam kebingungan.
Sungguh, kenapa dia harus bersikap begitu? Sudah berkali-kali aku mencoba menjalin pertemanan, namun dia seolah tidak mau membuka diri.
"Kenapa sih dia? Apa salah gue coba? Padahal kan gue cuman ngasih usul dan ngajak dia!" keluhku frustrasi.
Tiba-tiba Sobara dan Adri duduk di sebelahku, mendengar keluhanku.
"Ada apa?" tanya Adri, tatapannya serius.
"Gue cuman ngajakin Mita ke kota biar ada sinyal terus bisa video call sama bokap nyokapnya. Eh, dia malah langsung pergi gitu aja. Sensi amat sih tuh anak sama gue. Heran!" omelku.
"Nad ... Mita nggak punya orang tua," kata Sobara dengan suara rendah, seakan menyampaikan rahasia besar.
"Hah-?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...