Pagi yang cerah seolah ikut merayakan suasana hatiku. Rasanya seperti masih terbang tinggi sejak tadi malam. Meski aku tahu di sekolah nanti tak akan ada Dimas, senyumnya yang tersipu malu saat menggenggam tanganku tak bisa hilang dari pikiranku. Mungkin itu pertama kalinya dia berani menggenggam tangan seseorang, dan aku sendiri tidak jauh berbeda, tak henti-hentinya tersenyum malu sepanjang perjalanan pulang.
"Nadine, sarapan dulu, yuk!" panggil Mita dari depan pintu kamarku.
Aku tersentak dari lamunan, lalu tersenyum padanya sambil mengangguk. Mita balas tersenyum dan pergi tanpa banyak tanya, padahal tadi malam dia sudah susah payah membantuku menyelinap dari pandangan Fiqih. Saat aku tiba di rumah, dia sudah tidur pulas, dan aku tak tega membangunkannya. Sementara itu, Fiqih, Sobara, dan Adri masih asyik ngobrol di teras, dan aku bisa melihat sekilas tatapan kaget Fiqih ketika melihatku datang bersama Dimas. Namun, mungkin dia memilih untuk bungkam dan tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Sejujurnya, aku agak lega karena tidak harus menjelaskan.
Saat sarapan, aku duduk di antara teman-temanku. Fiqih duduk di sebelahku, tetapi dia tidak menyapaku seperti biasanya.
"Telat bangun, ya, Fiq?" tanyaku, berusaha memulai percakapan.
Fiqih hanya menoleh sekilas, lalu berkata kepada Sobara, "Sob, nanti kita ke rumah Pak Imron, ya. Katanya mau mengadakan penyuluhan buat remaja desa soal bahaya narkoba."
Sobara mengangguk sambil mengacungkan jempol, mulutnya masih penuh dengan makanan. Aku hanya bisa melirik, merasa sedikit canggung. Biasanya Fiqih ramah, tetapi kali ini dia mengabaikan basa-basi dariku.
Setelah selesai sarapan, aku mengambil tas dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Saat keluar, ternyata hanya ada Mita yang sedang memasang sepatu.
"Loh, Fiqih mana?" tanyaku. Biasanya, dia selalu menunggu dan berjalan bersamaku ke sekolah.
"Oh, tadi dia sudah jalan duluan bareng Sobara dan Adri," jawab Mita santai. "Mau bareng gue aja?"
"Ayo!" Aku tersenyum, agak senang bisa berangkat dengan Mita untuk pertama kalinya. Ternyata asyik juga ngobrol dengannya tanpa rasa canggung, apalagi kami jadi sibuk membahas tentang tugas-tugas KKN kami.
"Nanti, habis sekolah kita ke rumah Pak Darma, ya," ajak Mita tiba-tiba.
Aku langsung menoleh, dan tanpa sadar ada debar yang tiba-tiba di hatiku. Mendengar nama Pak Darma saja membuat perasaanku bergejolak, secara beliau adalah ayahnya Dimas. Entah kenapa rasanya malu sendiri.
"Ngapain ke sana, Mit?" tanyaku seolah acuh, meski dalam hati penasaran.
"Mau tanya tentang struktur pemerintahan desa sama profil desa buat laporan. Soalnya, kan, itu harus dicantumkan di laporan KKN."
Aku mengangguk paham, tapi sedikit kecewa juga. Pikirku, percuma kalau ke sana tanpa ada Dimas. Lebih baik nanti saja setelah dia pulang.
"Oh iya, Mit." Aku berusaha mengalihkan topik sambil tertawa kecil. "Lo sadar nggak, anak-anak di desa ini tuh kooperatif banget ya sama kita?"
Mita mengangguk. "Iya, bener! Mereka ramah banget, sopan juga, ya?"
Aku ikut mengangguk, merasakan hal yang sama. "Iya, dan warga di sini juga welcome banget. Padahal kita baru sebentar di sini, tapi udah kayak diterima banget."
Mita tersenyum sambil memandangku, lalu bertanya dengan tatapan iseng, "Lo seneng banget di desa ini, Nad? Karena ada Pak Dimas, ya?"
Pipiku langsung terasa panas mendengar namanya disebut. Aku cepat-cepat menggeleng, mencoba menutupi rasa malu. "Nggak kok ... nggak gitu ...."
"Ah, iya deh iya ... nggak gitu, katanya." Mita terkekeh, dan aku semakin merasa tersipu. Mungkin ada sedikit kebenaran di balik candaan Mita, tapi yang pasti aku merasa nyaman di sini bukan hanya karena Dimas. Rasanya, anak-anak di sini memberikan semangat tersendiri buatku. Sementara soal Dimas ... dia itu mood booster tambahan
*
Baru saja kami datang ke sekolah, semua guru dan kepala sekolah sudah menyambut kami dengan sangat baik. Rupanya Pak Darma sudah memberitahu niat baik kami untuk membantu perbaikan sekolah. Terlebih Fiqih, Sobara dan Adri sudah membawa hadiah-hadiah kecil untuk para murid.
"Terima kasih atas kepedulian kalian yang begitu tulus. Kami sudah sangat bersyukur karena kalian bersedia mengajar di sekolah ini dan sekarang ditambah dengan donasi yang kalian berikan. Sekali lagi kami mengucapkan banyak terima kasih," ucap Kepala Sekolah yang sudah berumur hampir setengah abad itu. Beliau tersenyum hangat pada kami dan bisa kulihat dengan jelas bagaimana wajah terharu para guru-guru di SDN Hamparan Bintang.
Ingin menangis rasanya karena bisa membantu mereka yang kesusahan. Tujuan kami mengabdi di desa ini bukan hanya ingin memberikan ilmu untuk anak-anak, tapi juga ingin memberikan sedikit fasilitas yang layak untuk mereka. Karena, melihat mereka yang begitu semangat setiap belajar membuatku dan yang lainnya merasa dihargai.
"Sama-sama, Pak," jawab Fiqih mewakili kami semua.
Selanjutnya kami akan mengadakan rapat sepulang sekolah tentang hari yang tepat untuk perbaikan sekolah. Semoga apa yang kami sisihkan, bermanfaat untuk semuanya.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...