Kupikir mendapatkan tugas KKN di Desa Hamparan Bintang akan membuatku seolah mati suri dari kehidupan mewah di tengah kota metropolitan. Tetapi, ternyata aku salah ketika bertemu dengan lelaki baik hati yang berpikir bahwa aku telah menuduhnya seorang penguntit mesum.
***
Rasanya, malas banget membuka mata setelah baru tidur sekitar pukul tiga pagi. Kali ini aku begadang bukan karena nonton drama Korea yang bikin baper atau scroll-scroll di medsos kayak malam-malam sebelumnya. Malam ini, aku terpaksa berkemas secara kilat, nyiapin semua barang yang aku butuhkan untuk KKN ke dalam koper.
Pengen banget bawa semua barang yang ada di kamar ini. Tas-tas colorful, sepatu baru yang masih kinclong, dan baju-baju bagus yang baru saja aku beli minggu lalu. Tapi, kayaknya nggak mungkin. Belum sempat nyimpen barang-barang itu, Mama udah memberi pengingat.
"Nadine, ingat ya, kamu pergi untuk mengajar, bukan untuk cari jodoh! Jadi, buat apa repot-repot bawa barang yang bisa menarik perhatian orang lain?"
Aku cuma bisa mendengus pelan. Mama selalu berhasil bikin aku merasa tersadar antara harapan dan realita.
Sebelum mataku sepenuhnya terbuka, aku meraih gadget dengan casing biru langit yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. Ini adalah hal pertama yang selalu aku cek setiap bangun. Kuperiksa notifikasi chat, berharap ada pesan dari siapa pun. Tentu saja bukan dari mantan pacar yang menyebalkan itu, karena hubungan kami udah berakhir tiga bulan lalu.
"Nadine ... kamu sudah bangun?" Mama memanggil dari luar, disertai ketukan lembut di pintu kamar.
"Iya, Ma ... sudah bangun." Suaraku parau, khas bangun tidur.
Aku mengangkat tangan dan meregangkan otot-otot yang terasa kaku setelah tidur hanya empat jam. Beberapa detik kemudian, suara Mama kembali terdengar.
"Sarapan sudah siap, ya! Sebentar lagi mobil jemputan datang!"
Aku mengangguk meski beliau tidak melihatnya. "Iya," jawabku singkat lalu mulai bergegas bangun dan ke kamar mandi.
*
Di ruang makan, Mama sudah menunggu dengan daster lengan panjang berwarna merah marun yang bermotif bunga mawar di bagian bawahnya. Rambutnya yang masih basah tergerai rapi, dan di tangannya ada susu kotak rasa vanilla yang dituangkan ke dalam gelas kosong.
Aku tersenyum sebelum menyapa wanita yang sangat kusayangi ini. "Selamat pagi, bidadari surga."
Sejak kecil aku selalu memberikan panggilan indah untuk Mama. Kadang aku memanggilnya bidadari, kadang juga Surgaku. Romantis kan? Jelas lah, karena aku anak tunggal, anak satu-satunya, anak semata wayang, jadi sudah tanggung jawabku untuk selalu berusaha membuat Mama tersenyum.
"Pagi, anakku yang cantik," jawab Mama sambil tersenyum dengan senyum khas keibuan yang selalu bikin hati ini hangat.
Aku menarik kursi kayu jati yang udah setia menemani sejak aku kecil hingga sekarang, dan duduk dengan nyaman untuk menikmati sarapan buatan Mama.
"Sebentar lagi Fiqih jemput kamu, ya? Katanya kalian dapat tugas KKN di Desa Hamparan Bintang, kan?" tanya Mama sambil menyerahkan segelas susu putih padaku.
"Iya," jawabku sambil menerima gelas dari tangannya. "Nanti kami berlima. Tapi, Nadine belum tahu siapa saja yang bakal ikut."
Mama mengamati aku yang menghabiskan susu dan menyisakan setengah gelas. "Seharusnya kamu kenalan dulu, dong. Masa iya sama teman satu rumah nanti nggak kenal?"
"Nanti di jalan juga bisa kenalan, Ma." Aku menjawab santai dan menggigit roti isi daging beku yang dipanaskan Mama. Dalamnya ada selada, tomat, dan timun. Enak banget, apalagi Mama menambahkan mayones dan saus pedas.
"Mama cuma bisa pesan, ya. Di sana, harus bisa jaga diri. Jangan bawa-bawa kehidupan di kota, ya. Hidupmu beda sama mereka yang ada di sana. Jadi, jangan sampai menyinggung perasaan mereka," pesan Mama dengan nada serius.
Sejujurnya, aku sudah hapal betul dengan pesan ini. Mama selalu mengulangnya. Aku tahu, hidupku yang penuh dengan mall dan kenyamanan ini pasti akan sulit beradaptasi di sana. Tapi, mau mundur dari KKN? No, thanks. Aku nggak mau jadi mahasiswa abadi!
*
Setelah berbincang ringan dan menyetujui semua nasihat dari Mama, saat itulah mobil Fiqih datang menjemput. Aku langsung meraih tas koper dan ransel, lalu tak lupa mencium punggung tangan Mama dan pipi kirinya, kanan. Ekspresi pura-pura tak sedih yang beliau tunjukkan membuat aku ingin tertawa.
"Ma, pamit dulu, ya. Nanti Nadine kasih kabar kalau sudah sampai di sana," ujarku sambil tersenyum.
Mama mengangguk paham dan mengelus kepalaku sebentar. Aku yakin Fiqih pasti sudah melihat adegan dramatis Mama yang kutinggalkan untuk mengajar anak-anak SD di desa terpencil itu, karena posisi Fiqih berdiri depan mobil.
"Jaga kesehatan dan jaga diri, ya, Nak," pesan Mama dengan suara sedikit bergetar.
"Iya, Mama." Kupeluk wanita berusia 47 tahun itu erat-erat. Sedih rasanya meninggalkan Mama sendirian di rumah. Sejak Papa meninggal dua tahun lalu, aku jadi teman satu-satunya di saat-saat kesepian.
Dengan langkah mantap, aku berjalan menuju mobil. Fiqih sudah ada di sana, berdiri di belakang mobil dengan bagasi terbuka, siap menyambut tas ransel dan koper milikku. Dia terkekeh pelan lalu mulai berkata dengan nada jahil, "Mau ke mana, Nad? Mau ke luar negeri atau ke dusun? Ngapain bawa koper segala?"
"Maksud lo, gue harus bawa kresek aja gitu?" sungutku, pura-pura kesal sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kursi kemudi.
Kudengar Fiqih pamit pada Mama. "Pergi dulu, Tante. Jangan cemas, Nadine aman kalau sama saya. Nyamuk saja nggak berani gigit dia," celetuknya dengan percaya diri.
Aku tersenyum geli mendengar kalimat meyakinkan Fiqih, sementara Mama hanya ikut tertawa kecil. "Hati-hati di jalan, ya," pesan beliau.
Fiqih masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin. Inilah saatnya aku melambaikan tangan ke Mama.
Belum juga pergi jauh, hatiku sudah merasa tidak karuan karena akan jauh dari rumah.
Aku pasti akan merindukan Mama.
*
Selama perjalanan, aku membuka aplikasi catatan kecil di handphone. Harus dipastikan semua barang penting sudah terkemas. Jangan sampai setelah tiba di sana, aku mendapati ada barang kecil yang krusial terlupa.
"Nggak nyangka, akhirnya kita KKN juga." Fiqih mulai berkomentar.
Mataku teralihkan ke lelaki yang sedang menyetir itu, dan aku mengangguk setuju.
"KKN, Kuliah Kerja Nyantai," lanjutnya dengan senyuman lebar.
"Ih! Apa sih lo? Awas aja kalau nanti di sana bikin masalah," ancamku dengan nada suara tegas.
Aku tahu betul bagaimana Fiqih ini. Dia punya bakat luar biasa dalam menciptakan masalah, terutama di kampus. Dari ikut-ikutan demo sampai terlibat dalam berbagai aksi konyol, dia selalu berhasil menarik perhatian.
Sebenarnya menuntut hak dan keadilan itu penting, tapi teriak-teriak di jalanan? Rasanya sia-sia. Apa mereka yang di dalam gedung itu benar-benar mendengar? Mungkin mereka lebih asyik menikmati kopi sambil ngobrol, sementara mahasiswa berpanas-panasan di luar.
"Kalau lo takut gue nyantai selama KKN nanti, kenapa nggak diubah aja kepanjangannya?" tanyanya dengan ekspresi sok serius.
"Apa?"
"Kisah Kasih Nyata. Hehehe."
Keinginan untuk memukul kepala Fiqih mendadak menggebu. Entah aku yang kurang humoris atau dia yang memang nggak lucu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengabaikan leluconnya dan kembali fokus pada daftar barang-barang penting dalam tas koperku.
*
![](https://img.wattpad.com/cover/307234779-288-k543365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
أدب نسائيDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...