Mobil sudah tiba di depan kampus, tepat di gedung mewah yang menjulang. Kami tidak masuk ke dalam. Fiqih hanya memarkir mobil di luar. Dia menghentikan mobilnya dekat tiga orang yang masing-masing membawa tas. Seketika, aku merasa berlebihan membawa koper besar ini.
Ah, bodo amat! Aku hanya ingin semuanya rapi. Apa salahnya?
Berusaha mengabaikan pikiran buruk bahwa teman-teman satu mobil mungkin akan mengghibahku dalam hati. Aku teringat komentar Fiqih yang pernah bilang kalau aku pasti nggak bisa bertahan lebih dari tiga hari di desa. Mereka pasti menganggap aku seperti tuan putri yang nggak akan mampu bertahan selama tiga bulan di sana.
Baiklah. Aku akan buktikan bahwa semua anggapan itu salah besar! Aku mandiri, aku hebat, dan tidak akan merengek minta pulang!
Dengan semangat, aku turun dari mobil. Rencana dari rumah untuk berkenalan dengan teman-teman satu kelompok harus kulaksanakan. Kupasang senyum semanis mungkin dan mengulurkan tangan dengan harapan terlihat ramah.
"Hai! Gue Nadine," ucapku dengan antusias.
Dua laki-laki dan seorang cewek berkacamata menatapku sebentar, lalu satu per satu menjabat tanganku sambil memperkenalkan diri. Mereka adalah Sobara, Mita, dan Adri. Nama-nama ini harus kuingat agar tidak canggung saat ngobrol nanti.
"Bantuin gue masukin tas ke dalam bagasi!" Fiqih tiba-tiba memerintah, memecah fokusku yang sedang berkenalan dengan teman baru.
Sobara dan Adri langsung membantu Fiqih, dan aku sempat mendengar dua lelaki itu terkejut melihat koperku yang besar sudah menempel di bagasi. Aku hanya bisa tersenyum sambil meringis malu, tapi ya sudahlah. Kupegang tangan Mita dengan niat mengajaknya masuk ke dalam mobil.
"Ta, kita masuk yuk!" ajakku berusaha tampil ramah.
Namun, Mita dengan kasar menarik tangannya hingga terlepas dari genggamanku. Aku terkejut, berusaha tetap tenang.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
Tanpa menjawab, Mita langsung masuk ke dalam mobil, menyisakan rasa aneh di dadaku. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Bukankah ini baru pertama kali kami bertemu? Kenapa dia terlihat seperti benci padaku?
Semua pikiranku tentang Mita langsung teralihkan ketika Fiqih menyentuh pundakku dan menyuruhku masuk ke dalam mobil. Dia bilang kami harus berangkat sebelum hujan turun, agar perjalanan kami lancar.
Aku mengangguk dan kembali duduk di tempatku, paling depan di samping Fiqih yang mengemudi, tanpa ingin menoleh ke belakang untuk mencari tahu di mana Mita duduk.
Huh! Bikin sebel aja. Belum juga hari pertama KKN mulai, aku sudah berurusan dengan cewek aneh. Males, ah!
*
Selama perjalanan, aku lebih banyak diam. Bicara hanya ketika Fiqih bertanya, tanpa berusaha mengajak yang lainnya mengobrol. Saat Sobara bertanya pada Adri tentang film terbaru yang sudah aku tonton bersama Silvi, sahabatku, aku hanya terdiam. Huh! Jadi kangen dia. Siap-siap saja selama tiga bulan tidak mendengar ocehan suaranya yang kadang ngomong tanpa titik atau koma.
Sepanjang perjalanan, aku juga sempat tertidur. Mengantuk karena hanya diam dan memang kurang tidur. Musik kesukaanku mengalun di headset, menyumbat kedua lubang telingaku. Hingga Fiqih membangunkanku ketika kami tiba di suatu tempat.
"Nad, bangun ... kita sudah sampai." Suara Fiqih lembut membangunkanku, membuatku tidak terkejut.
Kubuka mata dan samar-samar aku melihat papan tanda yang bertuliskan, SELAMAT DATANG DI DESA HAMPARAN BINTANG. Kini, kesadaranku mulai sepenuhnya kembali. Kami memang sudah tiba di lokasi KKN. Kulirik jam tangan dan ternyata hampir lima jam perjalanan. Jauh juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
Chick-LitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...