13

999 81 0
                                    

Pulang bersama Dimas, aku tak henti-hentinya dibombardir pertanyaan-pertanyaan darinya. Awalnya kupikir obrolan kami akan sebatas basa-basi, tapi ternyata Dimas punya wawasan yang luas. Setiap jawaban yang kuberikan selalu saja direspon dengan pembahasan lebih dalam—seolah dia menemukan celah untuk mengajakku berdebat. Entah karena hobinya memang mengasah argumen atau karena jawaban-jawabanku terasa kurang meyakinkan baginya.

"Jadi, menurut kamu kenapa sih pohon kelapa bisa bertahan hidup di pinggir pantai?" tanyanya sambil melirikku dengan ekspresi serius.

Aku mencoba menjawab seadanya. "Mungkin... karena akarnya kuat?"

Dimas tertawa kecil, tapi kemudian melanjutkan dengan penjelasan panjang lebar tentang adaptasi tumbuhan di lingkungan berpasir. Cara dia menyampaikan semua itu membuatku tertawa, bukan karena topiknya, tapi karena keseriusannya yang terlalu berlebihan. Sesekali ia menambahkan gerakan tangan dan ekspresi dramatis, membuatku sulit menahan senyum.

"Kenapa kamu selalu ketawa gitu? Saya lucu, ya?" tanyanya heran, alisnya sedikit terangkat.

Aku menutup mulut, berusaha menahan geli. "Nggak, bukan. Cuma ... caramu serius banget. Kayak lagi jadi guru biologi."

Dimas tertawa seolah menyadari kekonyolan dirinya sendiri. Namun tiba-tiba dia memandang langit yang mulai mendung.

"Malam ini sepertinya kita harus tunda rencana," katanya.

Aku langsung melihatnya dengan penuh tanya. "Kenapa emang?"

Dia mengangguk ke arah langit yang mulai kelabu. "Lihat aja. Langitnya udah mendung begitu. Nanti pasti hujan deras."

Kepalaku mendongak, menatap awan-awan yang tadinya putih cerah kini berubah jadi gumpalan abu-abu gelap. Rasa kecewa melintas di wajahku, persis seperti cuaca yang berubah mendadak ini.

Dimas rupanya menangkap ekspresi kecewaku. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah ke depanku dan berbalik menghadapku. Membuatku menghentikan langkah karena sedikit bingung.

"Ada apa?" tanyaku.

Dimas tersenyum tipis. "Bukankah masih ada hari esok?"

Aku mengangguk pelan, walau hatiku masih sedikit kesal. "Iya, gue tau. Cuma ... ya, sayang aja."

Dimas menatapku dengan pandangan lembut. "Jangan salahkan hujan, ya."

Aku hanya diam, mencoba menekan rasa kecewa itu. Baru saja aku ingin kesal pada hujan yang datang di waktu yang tak tepat.

"Hujan itu berkah," katanya. Kulihat tatap matanya tampak serius.

Aku mengangguk. Kalimat itu sudah sering kudengar, tapi entah kenapa saat ini terasa berbeda.

"Lagipula, menatap hujan bisa bikin hati kamu tenang," lanjutnya sambil menatap langit yang mulai gelap.

"Kayaknya lo suka banget sama hujan, ya?" tanyaku yang penasaran dengan pandangannya.

Dimas tersenyum kecil, mengangguk. "Selepas hujan selalu ada pelangi. Itu yang bikin saya nggak pernah membenci hujan."

Aku terdiam mendengar kalimat sederhana itu, namun penuh makna. Seolah-olah Dimas tengah menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. Ada keindahan setelah kegelapan, pikirku.

"Gimana kalau ternyata hujan malah bikin lo galau?" aku mencoba memancingnya, setengah bercanda.

Dimas mengerutkan kening, berusaha mencerna maksudku. "Maksudnya, hujan yang bawa kenangan masa lalu, gitu?"

Aku mengangguk, menunggu jawabannya.

"Hmm... kenapa harus galau waktu lihat hujan? Daripada mengingat masa lalu, kenapa nggak membayangkan masa depan pas hujan turun?"

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang