Aku baru saja melangkah masuk ke rumah. Suasana sepi menyambutku, hanya ada Mita yang sibuk dengan kegiatan memasak malam. Dalam beberapa minggu ini, dia dan Fiqih selalu jadi juru masak di tim kami. Tugasku? Hanya duduk manis, menikmati hidangan mereka, dan mengeluarkan pujian yang mungkin terasa setengah hati. Mungkin Mita semakin benci padaku karena itu.
"Hai, Mit." Aku berusaha menyapa, tapi suaraku tenggelam dalam keheningan.
Mita tampak tenggelam dalam dunia bawang merah yang ia kupas, air matanya mengalir tak terhindarkan.
Seketika aku menyadari, Mita tampak menyeka air matanya yang mengalir. Apa dia menggunakan bawang sebagai alasan menangis? pikirku. Teringat kembali kata-kataku di lapangan desa yang mungkin menyakiti hatinya.
"Gue minta maaf ya, Ta," ucapku pelan.
Namun, Mita tetap fokus pada pekerjaannya, mengabaikanku seolah aku tak ada.
"Gue nggak tahu kalau lo ternyata ...." Suara yang ingin kuucapkan terhenti. Takut jika aku justru semakin membuatnya sedih.
Dengan sedikit keberanian, aku duduk di sampingnya dan mengambil pisau kecil, mencoba mengupas bawang sepertinya.
"Ngapain lo?" tanya Mita menatapku dengan mata yang masih bersisa air mata.
"Bantuin lo," jawabku sepolosnya, berusaha tersenyum meski hatiku terasa berat.
"Nggak usah!" Mita meraih pisau yang ada di tanganku dan meletakkannya di sampingnya.
"Gue kan cuma mau berteman, Ta. Gue bersikap baik sama lo, tapi kenapa lo selalu kayak gini? Seolah-olah gue itu beban di tim ini," ucapku tak bisa menahan diri lagi. Kata-kataku berusaha menyusup ke dinding tebal yang membatasi hubungan kami.
Mita tak menjawab. Dia justru mengangkat keranjang kecil berisi bawang dan berjalan menuju luar, membiarkanku sendirian di dapur.
Aku hanya bisa diam dan merenungi tentang apa salahku sehingga bertemu dengan orang yang begitu kejam seperti Mita dan Dimas.
Tanpa kusadari, air mata mulai mengalir di kedua pipiku. Bibirku bergetar, duduk bersila dengan tatapan kosong ke depan. Rasanya dadaku sesak, tak tertahankan.
"Aku ingin pulang," lirihku, suaraku hampir tak terdengar. Air mata yang jatuh semakin menambah berat hatiku.
*
Makan malam terasa sunyi. Aku lebih banyak diam, hanya menjawab pertanyaan Fiqih dengan anggukan atau gelengan kepala. Mita pun tak banyak bicara, membuat suasana semakin hening. Hanya tiga lelaki di rumah ini yang mengisi kekosongan dengan obrolan mereka.
Perasaanku tertekan sejak sore tadi, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Aku merindukan Mama. Merindukan kenyamanan tidur di tempat tidurku sendiri dan kehidupan sosialitaku yang dulu, yang sekarang terasa jauh sekali.
"Nadine," sapa Fiqih yang keluar membawa dua gelas teh manis.
Aku yang duduk di dipan teras rumah hanya memberikan senyum samar dan menerima gelas yang dia tawarkan, tanpa sepatah kata pun.
"Ada apa?" tanyanya duduk di sampingku.
"Nggak apa-apa," jawabku datar.
Kata-kata itu adalah mantra semua perempuan ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Lebih baik diam dan menelan semua kesedihan daripada harus menceritakannya pada Fiqih.
"Gue tahu lo pasti ada masalah," tebak Fiqih.
"Tau darimana?" tanyaku sedikit heran.
"Gue kan peramal. Hehehe."
Aku hanya meringis mendengar leluconnya. Tidak ada yang lucu bagiku saat ini.
Sepertinya Fiqih menyadari ketidaklucuan ini. Ia menghela napas panjang, menatap langit malam yang cerah.
"Malam ini cerah. Semoga besok tidak hujan, karena kita harus kerja bakti."
"Iya."
"Hari Selasa tanggal merah, Nad."
"Iya." Suara jawabanku datar, sama seperti sebelumnya.
"Mau ke kota sama gue?" ajaknya tiba-tiba.
Pupil mataku membesar, dan aku menoleh padanya dengan penuh harap. Senyumku perlahan terlihat. "Mau!" jawabku penuh semangat.
Fiqih tertawa geli melihat perubahan moodku yang tiba-tiba. Ia mengacak-acak rambutku dengan gemas, dan alih-alih marah seperti biasanya, aku hanya tertawa. Malam ini, aku membiarkannya, karena Fiqih berjanji akan membayarnya dengan pergi ke kota.
Namun, saat kami masih mengobrol, tiba-tiba seorang tamu muncul.
"Nadine," sapa tamu itu, membuat aku langsung terkejut.
Refleks aku menoleh ke Fiqih, dan melihat ekspresi terkejut yang sama terlukis di wajahnya.
"Dimas," ucapku dengan ekspresi luar biasa gugup. Kenapa dia muncul di sini? Bukankah tadi sore kami baru saja bertengkar?
"Boleh saya bicara sebentar?" pintanya dengan wajah penuh harap. Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Apakah aku akan memberikan kesempatan untuk Dimas bicara?
-Bersambung-

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...