Aku terus memperhatikan langkah-langkah Dimas yang cekatan melewati ranting dan akar pohon di sepanjang jalan. Sesekali dia menginjak ranting hingga patah, suaranya terdengar jelas di heningnya malam. Sementara itu, aku sibuk menjaga keseimbanganku, mencoba meniru langkahnya. Namun, satu-dua kali aku tersandung batu kecil di jalan. Untung saja tangan Dimas menggenggamku dengan kuat, tanpa itu mungkin aku sudah tersungkur.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya Dimas berhenti. Aku menarik napas lega, tetapi sebelum sempat bertanya, dia berbisik, "Kita hampir sampai. Tapi ... lihat dulu sambutan mereka buat kamu."
Aku menatapnya dengan bingung. "Maksud kamu?"
Dimas tersenyum penuh arti, lalu mempersilahkanku untuk maju. Ragu-ragu, aku melangkah selangkah ke depan, mengangkat wajah, dan ...
"Ya Tuhan ...." Bisikanku nyaris tercekat. Ratusan cahaya kecil melayang di hadapanku, berkelap-kelip di antara pepohonan. Mereka terbang pelan, seperti menyapa kami dengan kedipan cahaya mereka yang lembut.
"Kunang-kunang ...," ujarku, mataku berbinar menatap keajaiban di depanku. Ini adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat. Selama ini, kunang-kunang hanya kutemui di layar film. Tapi malam ini, mereka benar-benar ada di hadapanku, berkilauan seperti bintang yang jatuh ke bumi.
"Iya, kunang-kunang. Mereka datang khusus buat menyambut kita." Dimas tersenyum, menatap wajahku yang terpukau.
Aku tertawa kecil, mataku tetap terfokus pada cahaya-cahaya kecil itu. "Mereka benar-benar indah," gumamku takjub.
Tanpa melepas genggaman Dimas, aku mengulurkan tangan kanan, berusaha menangkap salah satu kunang-kunang yang terbang rendah. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya aku berhasil. "Dimas, lihat! Aku dapat dua!" seruku girang, menatap cahaya yang berpendar di telapak tanganku. Dua kunang-kunang itu berkilau lembut, menerangi wajahku dengan sinar hangat.
Dimas tersenyum lebar, dan berkat cahaya kunang-kunang aku bisa melihat lesung pipinya dengan jelas. Tanpa kusadari, dia terus mengawasiku sejak tadi, seolah menikmati ekspresiku yang sangat senang dan antusias.
Aku membuka tangan pelan-pelan, membiarkan kedua kunang-kunang itu terbang bebas. Mereka berputar-putar, seakan menari bersama sebelum akhirnya melayang menjauh. "Rasanya kunang-kunang ini bercahaya seperti sihir, ya?" tanyaku masih terpana.
Dimas tersenyum, menatapku. "Kamu tahu? Kunang-kunang jantan itu nyalanya selalu berkedip-kedip waktu menggoda betinanya."
Aku mengerutkan dahi, setengah heran setengah geli. "Oh, jadi semacam ... sandi morse?"
Dia tertawa kecil, mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Mereka memang 'berbicara' lewat cahaya."
Aku menatap kunang-kunang-kunang itu dengan perasaan kagum yang baru. "Aku nggak tahu kalau kunang-kunang seunik itu. Di kota, mana ada yang bisa lihat kunang-kunang," kataku sambil tersenyum, kagum pada pengetahuan sederhana Dimas.
"Bahkan," lanjutnya, "kunang-kunang sudah bisa bercahaya meski masih jadi telur."
Aku memandangnya takjub. "Benarkah?"
Dimas mengangguk, senyumnya lembut. Dia tampak begitu menawan di antara cahaya kunang-kunang yang beterbangan di sekitar kami. Dalam hatiku, aku merasa dia bukan sekadar pria desa biasa. Ada sesuatu dalam dirinya yang sederhana tapi memikat. Sesuatu yang jarang kutemukan pada orang lain.
"Mau lanjut jalan?" tawarnya.
Aku mengangguk. "Masih jauh?"
"Kurang dari tiga menit lagi kita sampai."
"Baiklah," jawabku, tak sabar melanjutkan perjalanan. Dimas menggenggam tanganku lagi, dan kami berjalan menyusuri jalan setapak itu, melewati kunang-kunang yang terus berkedip, seolah memberi kami salam perpisahan. Dengan senyum lebar, aku melambaikan tangan ke arah mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...