Tiga puluh menit berlalu. Di ruang guru yang sunyi, aku hanya bisa melamun menatap guyuran hujan yang tak kunjung reda. Jarum jam menunjukkan pukul delapan tepat, tapi tak satu pun siswa tampak di halaman sekolah. Daguku bertumpu pada tangan, sementara mataku terpaku pada aliran air hujan yang menderas dari langit kelabu. Napas panjang lepas berkali-kali, seiring dengan kekecewaan yang mulai menyelinap.
"Kok, cuma kita doang, ya, yang datang," gumamku pelan, melihat para guru yang sama-sama duduk terdiam di ruang guru.
Tak tahan lagi, aku berdiri dan melangkah keluar mendekat ke tepian teras depan. Rintik hujan masih turun, tampak berkilauan di bawah sinar redup. Tanpa pikir panjang, kuulurkan telapak tangan membiarkan rintik-rintik kecil jatuh di atas kulit.
Kata-kata Dimas kemarin terngiang di telinga. Jangan kesal pada hujan, hujan itu berkah. Entah kenapa, kata-katanya itu tiba-tiba terasa hangat. Tapi ... ya ampun, sekolah setengah kosong begini, siapa yang tak kecewa?
"Kenapa di sini?" Suara bariton Dimas yang tiba-tiba terdengar dari samping membuatku tersentak. Aku menoleh dan mendapati sosoknya, berdiri santai dengan kedua tangan di belakang punggung, memandang hujan yang deras dengan mata tenang.
"Bosan di dalam," jawabku jujur lalu menunduk kembali menatap hujan yang masih membasahi tanganku.
Dimas menatapku sambil tersenyum kecil. "Jangan tunggu murid-muridnya. Kalau mereka mau belajar, mereka pasti datang."
Aku mengangguk kecil, sedikit malas. "Iya sih, tapi kalau tahu mereka nggak datang, mungkin aku mending di rumah aja." Keluhanku keluar tanpa disaring.
Dimas tertawa kecil, suaranya hangat dan menenangkan. "Kata siapa mereka nggak bakal datang?"
Aku mendongak dan menatapnya heran. "Dimas, udah jam delapan lewat, lho. Mereka belum kelihatan sama sekali."
Dimas tersenyum lagi, kali ini matanya berbinar. "Bu Nadine ... anak-anak itu pasti datang. Percaya saja," katanya penuh keyakinan.
Tanpa ragu ia juga mengulurkan tangannya di bawah hujan, meniruku. Di bawah cahaya redup, aku bisa melihat rintik-rintik yang jatuh di telapak tangannya, sama seperti di tanganku.
Dan benar saja, tak sampai sepuluh menit kemudian suara tawa dan canda terdengar dari kejauhan. Aku menoleh, pupil mataku melebar melihat rombongan anak-anak. Satu per satu berlari kecil menembus hujan dengan jas hujan warna-warni dan payung yang besar-kecil, menuju ke arah sekolah.
"Mereka datang!" seruku hampir tak percaya.
Dimas menoleh padaku, senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Wajahnya terlihat begitu senang, seolah semangat anak-anak itu tertular padanya. "Kan, sudah kubilang."
Anak-anak itu terus berlari ke arah kami, meskipun hujan masih mengguyur. Wajah mereka ceria dengan mata mereka bersinar penuh semangat, seakan-akan hujan sama sekali tak mengganggu. Setiap langkah mereka menghapus sisa keraguanku.
"Selamat pagi, Pak Guru, Bu Guru!" sapaan mereka terdengar kompak, penuh kehangatan dan keceriaan yang sulit dijelaskan.
"Selamat pagi, anak-anak!" sahutku, kali ini dengan senyum yang terlukis tulus di wajahku. Hampir menangis rasanya melihat anak-anak itu begitu semangat.
Aku melirik Dimas yang masih tersenyum penuh kebanggaan melihat murid-muridnya. Wajahnya, seperti anak-anak itu, tampak begitu cerah di tengah mendung yang kelam. Aku tak kuasa menahan tawa kecil, geli sendiri pada pesimis yang sempat kurasakan tadi.
Siapa sangka? Di balik hujan dan cuaca yang tak bersahabat ini, semangat anak-anak itu jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...