12

825 71 0
                                    

Sesampainya di sana, aku berusaha sebisa mungkin tidak mencolok. Mataku secara diam-diam sibuk mencari sosok Dimas. Tak sulit menemukannya di antara kerumunan bapak-bapak yang sedang berkumpul. Ia berdiri tegap dengan senyum khasnya, tampan seperti biasa. Senyum Dimas hampir membuatku tersenyum sendiri. Aku baru sadar kalau Dimas memiliki lesung pipi kecil di pipi kirinya.

"Nad, lo ngapain di sini?" Suara Fiqih membuatku tersentak, mengagetkanku.

"Eh, apa?" balasku dengan muka bingung, mencoba mengalihkan fokus dari ketahuan sedang melamun.

"Katanya mau ikut bersih-bersih di sebelah sana. Kalau disini tempat laki-laki, Nad. Kalau mau ngumpul sama ibu-ibu di sana tuh," ujarnya sambil menunjuk ke sisi kiri mushola, tempat para perempuan berkumpul.

Mataku melirik sekeliling, baru sadar kalau aku malah mengikuti langkah Fiqih yang membawa ke kerumunan para pria. Rasanya malu sekali. Cepat-cepat aku berjalan menuju tempat para perempuan, berharap tak ada yang melihat wajahku yang sudah pasti memerah. Mita, yang jelas-jelas melihatku tadi, hanya menatap tanpa memanggil atau mengingatkanku. Ah, apa yang kuharapkan darinya? Dia kan memang tidak suka padaku.

Begitu bergabung dengan ibu-ibu, kejadian kemarin langsung terulang. Mereka ramai menyambut, mencubit pipiku, dan merapikan rambutku tanpa permisi. Aku hanya bisa tertawa kecil, meski dalam hati berharap ada yang segera datang menyelamatkan. Dalam imajinasiku, Dimas datang menolong seperti kemarin, tapi ia terlihat sibuk dengan gunting pemotong ranting di tangan, berkonsentrasi memotong cabang pohon yang sudah tua.

"Bu ... boleh saya permisi?" tanyaku pada ibu-ibu yang heboh mengerumuniku.

"Mau ke mana, Neng?" seorang ibu berjilbab merah terang menatap penuh tanya.

"Anu, saya mau ke...." Aku kehilangan kata-kata, bingung harus beralasan apa. Ke mana pun aku pergi, tetap saja semuanya berkerumun di sini.

"Nak Nadine." Sebuah suara lembut mengalihkan perhatian di belakangku.

Aku menoleh dan menemukan seorang wanita paruh baya tersenyum ramah, lesung pipi menghiasi wajahnya. Ibu Dimas! Hatiku berdebar, dan aku tersenyum semanis mungkin.

"Iya, Bu?"

"Bisa bantu ibu membawa beberapa kue ini?"

Aku mengangguk penuh semangat, merasa senang ada alasan untuk lepas dari kerumunan ibu-ibu yang gemar bertanya hal-hal aneh, seperti rahasia kulit cantik atau apakah aku punya resep khusus untuk tetap langsing. Tentu saja, aku lebih memilih berada di dekat ibunya Dimas!

Kami berjalan bersama menuju teras mushola, menata kue-kue basah di atas piring untuk disajikan kepada bapak-bapak yang sedang bekerja.

"Maaf ya, Nak. Ibu-ibu di sini ganggu kamu," kata Bu Darma, ibunya Dimas, dengan suara lembut.

"Oh, nggak apa-apa, Bu. Mereka semua baik dan ramah kok." Aku tersenyum sopan, meski dalam hati lega bisa bernapas sejenak dari kerumunan.

"Terima kasih juga ya, sudah bersedia mengajar di sekolah desa ini," lanjut Bu Darma dengan nada penuh syukur.

Aku mengangguk dengan sedikit malu. "Iya, Bu. Sama-sama. Anak-anak di sini baik dan sopan, nggak ada yang bandel."

Mendengar itu, Bu Darma tersenyum hangat, dan kami melanjutkan menyusun kue dengan rapi di piring. Aku merasa diperhatikan olehnya beberapa kali, hingga akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Ada apa, Bu?"

"Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya senang saja, melihat desa ini kedatangan anak-anak seperti kalian."

Aku tersenyum malu. "Ah, ibu berlebihan," balasku sambil tertawa kecil. "Kami hanya ingin membantu dan berbagi apa yang bisa kami lakukan."

Bu Darma terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Kamu tahu, Nak Nadine... Tidak banyak orang yang mau mengajar di sini. Sekolah desa ini sudah lama kekurangan guru. Mungkin kamu juga kaget melihat keadaannya waktu pertama kali datang?"

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang