Aku menatap pantulan diriku di cermin kamar, memastikan semuanya terlihat pas. Sweater hangat berwarna pastel menempel di tubuhku, dan rambut yang kugerai terasa pas untuk menambah kesan lembut sekaligus menutupi leher dari angin malam yang dingin.
Di depan cermin aku mencoba senyum manis ala iklan pasta gigi, lalu berubah menjadi senyum tersipu malu-malu. Ah, semoga saja senyum mana pun yang keluar nanti tidak membuatku terlihat aneh di depan Dimas.
Setelah menarik napas dalam-dalam dan menyemprotkan sedikit parfum yang kesayangan, aku melangkah keluar kamar. Saat di kamar, aku disambut oleh Mita yang sibuk menempelkan beberapa kertas warna-warni di atas karton. Mind mapping-nya selalu penuh warna, seakan pelajaran menjadi lebih hidup dan mudah dipahami para murid dengan caranya itu.
Tanpa menoleh, Mita menyadari kehadiranku dan tersenyum sendiri. "Kayaknya, ada yang mau kencan malam ini," godanya dengan mata tetap fokus pada tugasnya.
Aku tertawa kecil dan ingin membalas, tapi seketika langkah Fiqih terdengar mendekat, disusul tatapan herannya ke arahku.
"Mau ke mana, Nad? Wangi banget, loh," katanya dengan mata menyipit seakan sedang menginvestigasi.
"Gue kan biasanya emang selalu wangi." Aku berusaha bersikap biasa, meskipun detak jantungku mulai tidak karuan, takut ketahuan kalau malam ini ada janji di luar.
Fiqih menatapku penuh selidik, lalu hidungnya sedikit berkedut. "Kayaknya lo nggak pake parfum ini deh biasanya kalau ngajar atau di rumah?"
"Ah, masa sih?" Aku pura-pura ikut mencium wangi bajuku. "Bener, deh. Ini parfum yang biasa gue pake."
"Dih, bohong! Lo mau kemana emang?"
"Gue ...." Aku menggigit bibir bawah, bingung mencari alasan yang tepat. Mencari kata-kata ketika otakku sedang panik rasanya sulit sekali.
Tiba-tiba Mita bicara dengan suara tenang. "Dia mau beli lotion anti nyamuk di warung, Fi," katanya sambil berdiri dan mengarahkan pandangannya ke arahku, memberi isyarat agar aku ikut bersandiwara.
"Emang tadi nggak beli?" Fiqih mengerutkan dahi, tampak agak bingung. "Gue rasa gue udah beli, deh."
"Iya, tapi itu yang wangi lemon, Fiq. Gue mau yang wangi apel." Aku menambahkan alasan sambil tersenyum sedikit canggung, berharap Fiqih tidak menyelidiki lebih jauh.
Dia tampak berpikir sejenak, lalu menghela napas dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Gue bisa beliin sekalian aja."
"Maaf, Fiq. Gue lupa bilang tadi," kataku sambil menggaruk kepala, berusaha terlihat sebiasa mungkin.
Fiqih mengangguk, tapi kemudian malah menawarkan diri. "Ya udah, gue temenin, yuk."
Aku menahan napas. Hampir saja rencana malam ini gagal total. Namun, sebelum aku sempat mencari alasan lain, Mita tiba-tiba menggandeng Fiqih dan menariknya ke arah meja.
"Fiqih, bukannya lo tadi janji bantuin gue bikin poster ini?" tuntut Mita sambil menunjuk kertas karton dan pensil warna di meja.
Fiqih menatap kertas karton itu, lalu beralih menatapku, lalu kembali lagi ke karton. "Iya, tapi ... Nadine gimana?"
Aku buru-buru mengangguk dan tersenyum meyakinkan. "Tenang, gue bisa sendiri kok. Udah bawa HP dan payung juga. Lagian cuma ke warung depan."
Fiqih menghela napas panjang, kemudian menyerah pada bujukan Mita. Dengan sedikit enggan, dia akhirnya memilih tinggal untuk membantu Mita, sementara aku bisa melenggang pergi dengan hati yang lebih ringan. Aku melemparkan tatapan terima kasih ke Mita, dan dia hanya memberi isyarat agar aku cepat-cepat keluar sebelum Fiqih berubah pikiran.
Dengan hati yang penuh antisipasi, aku melangkah keluar rumah. Hawa dingin langsung menyambut, tapi aku tak peduli. Setengah berlari kecil, langkahku semakin ringan membayangkan momen-momen yang akan kuhabiskan bersama Dimas malam ini.
*
Aku bergegas menuju gapura kecil di ujung jalan Desa Hamparan Bintang. Beberapa kali kutengokkan kepala, memastikan Fiqih tidak diam-diam membuntutiku. Sampai akhirnya, dari kejauhan, aku melihat sosok Dimas berdiri di bawah gapura, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Senyum kecil terbit di bibirku saat melihat jaket hoodie biru dongkernya yang kontras dengan rambutnya yang sedikit basah dan wajah yang tampak segar.
Kutambah kecepatan langkahku, tak ingin membuatnya menunggu lebih lama.
"Hai," sapaku begitu tiba di dekatnya.
Dimas menyambutku dengan senyuman khasnya, membuat dadaku berdesir. "Hai."
"Maaf, ya, telat dikit," ujarku sambil melirik jam. Ternyata aku telat tujuh menit.
"Nggak apa-apa. Sempat mikir kamu nggak nerima surat itu." Senyumnya masih tergantung, seolah memperhatikan reaksiku.
Pipi terasa panas saat mengingat surat dari Dimas tadi siang. Tulisannya rapi di atas kertas kecil, rasanya seperti hidup di masa tanpa teknologi canggih. Ini pertama kalinya aku menerima surat, meskipun bukan surat cinta.
"Jadi, kita langsung jalan?" tanya Dimas, matanya berbinar seakan tak sabar.
Aku mengangguk. "Boleh."
Dia memberi isyarat agar aku berjalan di sisinya. Kami melangkah bersama, melewati jalan kecil yang semakin jauh dari keramaian desa. Katanya, dia akan mengajakku ke tempat yang bisa melihat bintang dengan jelas. Tapi tempat itu masih dirahasiakannya.
Dimas melirik payung lipat biru di tanganku. "Bawa payung, ya?"
"Jaga-jaga, siapa tahu nanti hujan," jawabku ringan.
"Kalau nggak hujan?"
Aku mengedikkan bahu, tersenyum. "Ya bagus. Berarti bisa lihat bintang sepuasnya."
Dia tertawa kecil. Dan, jujur saja kalau aku sangat menyukai suara tawanya.
Kami akhirnya berbelok ke jalan setapak, keluar dari jalur utama desa. Kanan kiri kami dipenuhi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, menciptakan bayang-bayang gelap. Jujur saja, suasana hening dan gelap ini membuatku merinding. Kutelan ludah, mencoba menenangkan diri.
Dimas rupanya menyadari apa yang kurasakan sekarang. "Kamu takut?"
Tentu saja aku takut, tapi gengsi mengakuinya. Aku pun meraih HP di dalam tas, siap menyalakan senter. Namun, sebelum sempat melakukan itu, Dimas menahan pergelangan tanganku dengan lembut.
"Kenapa, Dim?" tanyaku bingung.
"Kalau kamu nyalain senter sekarang, kamu nggak akan bisa lihat keindahan yang bentar lagi kita lewatin," bisiknya pelan, seakan menyimpan rahasia besar.
Aku mengernyit, tak sepenuhnya paham. "Maksudnya?"
Dimas hanya tersenyum, lalu memasukkan kembali HP ke dalam tasku yang masih terbuka. Kemudian, dia mengambil alih payung yang kupegang.
Dia menatapku, lalu dengan nada hati-hati bertanya, "Boleh saya pegang tangan kamu?"
Aku terkejut dengan permintaannya yang tiba-tiba. "Pegang tangan gue?"
Dimas mengangguk, wajahnya tenang dan tulus tanpa niat aneh sedikit pun.
Aku masih terdiam, tapi akhirnya kuulur tangan yang langsung dipegangnya dengan erat. Jemarinya hangat, kokoh, memberi rasa aman di tengah kegelapan yang menyelimuti kami.
"Maaf kalau bikin kamu bingung. Aku cuma nggak mau kamu takut," katanya sambil menatapku lembut.
Senyum tipis muncul di bibirku. "Oke," jawabku pelan, merasa sedikit lega dan ... mungkin, sangat salah tingkah.
Kami melanjutkan langkah, kali ini dalam keheningan yang nyaman.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...