11

832 76 0
                                    

Dimas kini duduk di sampingku, menjadi tamu malam ini yang tidak terduga. Fiqih, yang sedari tadi paham bagaimana suasana canggung ini, akhirnya memutuskan untuk mempersilakan Dimas duduk di teras, meskipun aku belum memberikan izin. Setelah itu, Fiqih melangkah masuk ke dalam rumah, keluar lagi bersama Sobara dan Adri. Mereka berencana membeli sesuatu di warung. Aku tidak tertarik untuk bertanya lebih jauh, pikirku biarlah mereka pergi dan membiarkanku menghadapi momen canggung ini.

Lima menit berlalu, dan kami terjebak dalam keheningan. Suara malam yang tenang hanya dipecahkan oleh suara angin, jangkrik dan katak di sawah. Baik Dimas maupun aku tampak enggan memulai percakapan. Aku bersikukuh untuk tidak menjadi orang yang pertama berbicara. Lagipula, dia lah yang datang ke rumahku, seharusnya dialah yang membuka pembicaraan.

Detik demi detik berlalu. Dan akhirnya, di menit ketujuh Dimas memecah kesunyian. "Saya ingin minta maaf karena sudah membuatmu marah tadi sore," ujarnya pelan penuh penyesalan.

Mendengar itu membuatku jadi merasa lelah dengan semua kemarahan yang terpendam dalam hatiku. Tanpa sadar, aku mengusap wajahku dan menghela napas panjang. "Gapapa," jawabku singkat. "Lagipula, apa peduli lo? Kenapa bela-belain ke sini hanya untuk minta maaf?"

"Saya terus kepikiran. Tidak tenang kalau belum dimaafkan," jelasnya terdengar tulus. 

Aku mengangguk pelan. "Ya sudah. Malam ini lo bisa tidur dengan tenang."

Dimas tersenyum, meskipun raut wajahnya tampak serius. "Kamu ... kalau ingin marah-marah dan memaki saya, tidak apa-apa," katanya seolah memberiku izin untuk melampiaskan semua rasa kesal yang terpendam.

Aku meliriknya, kulihat dia menundukkan kepala seolah merasa sangat bersalah. Baru aku sadar kalau aku bukan tipe yang bisa menyimpan dendam. Aku lebih memilih untuk berdamai dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang, bahkan dengan mantan-mantan pacarku dulu. Kupikir, buat apa juga menjalin hubungan tak baik dengan orang yang pernah membuatku bahagia dan tersenyum.

"Emang lo nggak sakit hati kalau gue maki-maki?" tanyaku, sekalian menyindir agar dia memahami bahwa dimaki itu tidak menyenangkan.

"Kalau itu bisa membuat kamu lebih lega, kenapa tidak?" jawabnya dengan bijak.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa tertawa pelan, terhibur oleh ketulusan yang naif. Mana ada orang yang pasrah jika dimaki atau dihina? Semuanya pasti akan merasa kesal. Jika aku sampai melakukan itu padanya, berarti aku sama saja dengan dia yang menghakimi orang lain tanpa mengenalnya lebih dekat.

"Sudahlah ... kamu jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mendengarku marah-marah. Itu namanya buang-buang waktu," ujarku memilih untuk mengakhiri pertengkaran kamu dan berusaha berdamai.

Dimas mengangguk, dan aku melihat ada senyuman samar di bibirnya meskipun tidak sepenuhnya terlihat jelas. Dengan ini, masalah kami tampaknya sudah beres. Namun, aneh rasanya dia masih duduk di sini. Kenapa dia tidak segera pulang?

"Kamu betah tinggal di sini?" tanya Dimas, memecah keheningan lagi.

"Ya, lumayan. Walaupun tadi sore berpikir ingin pulang, tapi ... sekarang sudah nggak pengen pulang lagi," jawabku jujur.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Karena tugas gue belum selesai KKN di sini. Masa iya pulang duluan? Gimana dengan nilai gue nantinya," jawabku dengan masuk akal.

"Oh," Dimas hanya mengeluarkan satu kata sebagai respons. 

Dalam keheningan itu, aku mendongak dan memandang langit. Bintang-bintang berkelip indah di atas sana, mengingatkanku pada momen-momen indah bersama almarhum papa yang selalu mengajakku melihat bintang dan mengajarkan rasi bintang.

"Kamu suka bintang?" tanya Dimas lagi. Kali ini suaranya terdengar lembut.

"Iya," jawabku tersenyum sambil terus menatap langit.

"Kamu ingin melihat bintang yang lebih banyak, nggak?" tanyanya, dan saat itu aku langsung berpaling padanya. Kudapati tatapannya yang serius.

Kuanggukkan kepala. "Mau. Di mana?"

"Nanti saya ajak kamu ke suatu tempat."

"Kapan?" Aku penasaran.

"Besok malam," ujarnya. "Kita bertemu di depan gapura."

Aku terdiam sejenak, terkejut oleh tawarannya. Apakah sekarang dia bersikap baik padaku?

"Kamu mau?" Dimas memastikan sekali lagi.

Kedua sudut bibirku terangkat, senyum mulai mengembang di wajahku. "Jam tujuh, ya."

Dimas setuju. Kami sepakat untuk bertemu di gapura. Sebuah pertemuan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Mita mungkin akan mendengarnya dari dalam rumah, dan jika dia tahu, berarti dia jadi salah satu orang yang tahu rencana kami berdua.

*

Malam itu, aku hampir tidak bisa tidur. Pikiranku terus berputar, membayangkan seperti apa besok malam akan berjalan. Jalan-jalan berdua dengan Dimas pasti akan menjadi momen yang luar biasa. Entah sejak kapan, aku mulai mengabaikan kenyataan bahwa dia adalah pacar orang lain.

Pagi harinya, suasana desa lebih ramai dari biasanya. Ada kerja bakti di mushola dan sekitar desa, dan semua orang tampak bersemangat. 

Aku memutuskan memakai kaos pink pastel yang lembut berpadu dengan jogger pants hitam polos yang nyaman. Untuk alas kaki, kali ini aku memilih sandal. Pengalaman mencuci sepatu di hari pertama sudah cukup menjadi pelajaran—aku ingin menghindari kerepotan itu lagi, sekalipun hari ini tidak ada tanda-tanda hujan.

"Nad, nih pakai ini," kata Fiqih menyodorkan sebotol sunblock. Sinar matahari pagi memang mulai terasa hangat, dan aku nyaris lupa melindungi kulitku.

Aku tersenyum menerima sunblock itu dan mengoleskannya di wajah dan lenganku. "Makasih, Fi!" ujarku merasa terbantu sekali.

Fiqih tidak berhenti di situ. Ia mengambil topinya sendiri, lalu dengan hati-hati memakaikannya di kepalaku. "Biar nggak kepanasan," katanya, memastikan topi itu pas dan menutupi wajahku dari paparan matahari langsung.

Aku menatapnya sejenak dan merasa bersyukur. "Tumben amat jadi baik gini. Biasanya nyebelin."

"Ya, nggak apa-apa, Nad. Biar lo nggak gosong aja." Dia tersenyum kecil, lalu menepuk bahuku dengan santai. Bersama-sama, kami berangkat menuju mushola, bergabung dengan para warga desa yang sudah mulai berkumpul.

Sesampainya di sana, suasananya terasa hidup. Anak-anak kecil berlarian, tertawa dan bercanda, sementara para ibu menyiapkan minuman dingin dan jajanan di bawah pohon rindang. Para pemuda sibuk membagi tugas—ada yang menyapu halaman mushola, ada yang merapikan taman di depan, dan sebagian lainnya mencabuti rumput liar di sekitar pagar.

"Nad, lo mau bantuin apa?" tanya Fiqih sambil melihat ke arah keramaian.

Aku memandang sekeliling, mencari sesuatu yang sekiranya bisa kubantu. "Hm, kayaknya aku mau bantu bersih-bersih halaman aja deh. Nggak terlalu berat dan masih bisa ngobrol sama warga," jawabku dengan antusias.

Fiqih mengangguk setuju. "Sip, ayo bareng aja."

Kami berdua menuju area halaman mushola dan mulai bekerja. Di tengah kegiatan itu, aku berkenalan dengan beberapa warga. Obrolan ringan pun mengalir. Salah satu ibu berkata, "Neng Nadine betah di sini, ya? Biasanya anak-anak KKN nggak banyak yang betah lama-lama."

Aku tertawa kecil, "Betah, Bu! Di sini seru kok, banyak yang baik-baik. Kalau udah balik nanti, pasti aku bakal kangen sama semuanya."

Saat sedang asyik berbincang, tiba-tiba aku menyadari kehadiran seseorang di dekatku. Dimas datang dengan senyum kecil di wajahnya, membawa beberapa alat kebersihan tambahan.

Ketika pandangan kami bertemu, ada percikan yang sulit dijelaskan, semacam rasa gugup bercampur antusiasme. Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan memberi senyum, mencoba terlihat santai.

Namun, dalam hatiku, aku merasa seperti remaja yang baru saja jatuh cinta. Rasanya aneh, tapi menyenangkan.

*

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang