20

936 75 0
                                    

Sore itu, aku dan Mita duduk di teras rumah, menikmati ubi goreng hangat pemberian tetangga. Rasa manisnya menyatu dengan suasana yang tenang, di mana mata kami mengamati hamparan sawah yang luas. Sejenak kami melupakan segala kerinduan dengan kehidupan kota dan menikmati keheningan desa. Suara ayam berkokok, angin sepoi-sepoi, dan aroma ubi yang menguar memberi rasa damai yang tak bisa didapatkan di kota.

Di kejauhan, para laki-laki sedang berada di rumah Pak Imron membahas tentang jadwal penyuluhan narkoba untuk remaja desa. Kami hanya berbincang ringan, membicarakan segala hal tentang tugas KKN kami. Kadang aku merasa, betapa banyak hal yang baru kutemui di desa ini. Entah kenapa, berada di sini memberi perasaan yang berbeda, lebih nyaman, meski jauh dari hiruk-pikuk kota.

Tiba-tiba langkah kaki seorang pemuda mengalihkan perhatian kami. Ia berhenti tepat di depan rumah, wajahnya tampak lelah, dan sepertinya ada yang mendesak.

"Bu Nadine," panggilnya.

Aku langsung berdiri dan menghampirinya, sedikit terkejut. "Iya, saya?"

"Anu ... Bu Nadine dipanggil Pak Kepala Desa. Katanya disuruh menghadap ke sana sekarang," katanya dengan nafas yang terengah-engah.

Aku saling berpandangan dengan Mita, kemudian memiringkan kepala. "Saya saja?" tanyaku, masih penasaran.

"Iya, Bu Nadine," jawabnya dengan tegas.

Mita segera berdiri, ikut menghampiriku. "Kita ke sana, Nad," ujarnya tanpa banyak bicara. Aku mengangguk, namun rasa cemas mulai menyelusup dalam hati. Ada sesuatu yang aneh dengan ini.

"Ada apa ya, Pak Darma ingin bertemu?" bisikku.

Mita hanya menggeleng. "Gue temenin, mungkin beliau ada hal penting yang perlu disampaikan. Pak Darma tahu para cowok lagi di rumah Pak Imron."

Aku hanya mengangguk, memasang sandal jepit dan mengikuti langkah anak lelaki itu yang sudah melangkah lebih dulu. Mita di sampingku, sepertinya juga merasakan penasaran yang sama. Aku tak bisa menyingkirkan firasat buruk yang semakin menggelayuti hatiku.

***

Sesampainya di rumah Pak Darma, kami berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Pak Darma terlihat duduk di ruang tamu dengan raut wajah serius, bahkan bisa dibilang gusar. Aku tak bisa menahan rasa gelisah yang merayapi tubuhku. 

Ada sesuatu yang tidak beres, pikirku. 

Lala, perempuan yang sudah tak asing bagiku, duduk di samping Pak Darma dengan ekspresi datar, sangat kontras dengan wajah penuh ketegangan Pak Darma.

"Assalamualaikum, Pak. Permisi," ucapku mencoba menyapa meski suara di tenggorokan terasa tercekat. Pak Darma menoleh, matanya tajam menatapku.

"Waalaikumsalam." Ia membalas salamku dengan suara berat.

Kami dipersilakan masuk dan duduk di kursi ruang tamu yang terasa dingin. Aku semakin merasa tak nyaman. Semua serba tidak pas, mulai dari pandangan Pak Darma yang tak lepas dariku, hingga kesenyapan yang menyelimuti suasana. Tak lama, Pak Darma membuka suara.

"Ada apa dengan kamu, Bu Nadine? Apa yang kamu lakukan tadi malam?" tanyanya tanpa basa-basi.

Aku terkejut, seolah dunia berhenti sejenak. "Hah?" Aku terdiam, mencoba mencari jawaban. "Sa ... saya keluar karena ada urusan, Pak," jawabku pelan berusaha terdengar tenang, meskipun hatiku berdebar tak karuan.

"Kamu berduaan dengan laki-laki di bukit?" tanya Pak Darma lagi, kali ini dengan nada lebih berat.

Jantungku seolah terhenti. Pak Darma tahu? Bagaimana bisa? Kami tidak bertemu siapa-siapa malam itu. Jalanan sangat sepi. 

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang