Hari-hari terakhir di Desa Hamparan Bintang seolah penuh dengan kenangan manis. Hubungan kami dengan warga desa semakin erat, tidak hanya sebagai mahasiswa KKN, tapi seperti keluarga yang saling peduli. Setiap pagi, sapaan akrab dan tawa hangat para warga membuatku merasa seperti bagian dari desa ini.
Aku dan Dimas pun semakin dekat. Sering kali dia mengajakku berkeliling desa naik sepeda. Dimas selalu yang memboncengku, dan aku duduk di belakang menikmati setiap detik saat itu. Tak jarang, warga yang melihat kami menggoda dan menyebut kami pasangan serasi. Reaksi Dimas hanya tertawa ringan, sementara aku tak bisa menahan senyum malu yang terpancar begitu jelas.
Namun, kebahagiaan ini mulai terasa getir. KKN kami akan berakhir dua hari lagi. Aku tahu, aku akan kembali ke kota dan menjalani kehidupan sebagai mahasiswi seperti biasa. Tapi, tak kusangka bahwa bayangan perpisahan dengan Dimas justru menjadi yang paling menakutkan.
Sore ini, Dimas mengantarku pulang seusai sholat magrib di masjid. Kami berjalan berdampingan dalam keheningan malam, diterangi temaram lampu jalan yang tidak terlalu terang. Rasanya setiap langkah kami diiringi harapan agar waktu berjalan lebih lambat, agar momen ini tak cepat berlalu.
"Kalau nanti kamu sudah kembali ke kota, aku harap kamu sering-sering nelpon," pinta Dimas memecah keheningan.
Aku tertawa kecil mendengar permintaannya. "Ke telepon rumah? Biar bisa ngobrol sama ibu kamu sekalian?"
Dimas tersenyum, mengangguk pelan. "Nanti kasih nomor HP kamu juga, ya. Biar kalau kangen, aku bisa langsung telpon kamu."
Hati kecilku berdesir mendengar ucapannya. Rasanya aneh, mendengarnya berkata "kalau kangen," seolah ada sebuah jaminan bahwa perasaan ini tidak akan hilang meski jarak memisahkan.
Kami berhenti sejenak di bawah sinar lampu jalan. Dimas menatapku dengan sorot mata hangat, seakan ingin mengingat setiap detail di wajahku. "Nad," panggilnya lembut. "Kamu ingat obrolan kita waktu di rumah?"
Aku mengangguk. Ingatanku langsung melayang ke malam itu, saat keluarganya sempat membahas tentang tawaran mengajar di kota yang pernah datang padanya. Tapi, Dimas tak pernah benar-benar menjelaskan alasannya menolak tawaran tersebut.
"Aku penasaran, sebenarnya kenapa kamu nggak mau pindah ke kota?" tanyaku pelan, menatapnya dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung.
Dimas tersenyum kecil, sedikit menunduk. "Sekolah di sini kekurangan guru. Kalau aku pergi, nggak banyak yang bisa mengisi kekosongan ini. Mereka butuh aku di sini."
Aku terdiam, memahami alasan mulia yang ia berikan. Tapi di sisi lain, hatiku sedikit terluka. Itu berarti ... dia memang tak ada alasan lain untuk pergi dari desa ini, bahkan untukku.
"Kamu nggak bisa selamanya tinggal di sini, kan?" tanyaku lirih, menahan perasaan kecewa yang mulai muncul.
Dimas mendesah, lalu menatapku dengan pandangan yang dalam. "Mungkin suatu hari aku bisa pergi. Tapi, untuk saat ini, desa ini tempatku yang terbaik. Mungkin ... kalau suatu hari aku harus ke kota nanti, kita bisa ketemu lagi, kan?"
Aku tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaan yang campur aduk. "Tentu saja, kapan pun kamu ke kota, kita bisa ketemu. Aku pasti senang ketemu kamu."
Dimas tersenyum, lalu mengusap lembut rambutku hingga membuatku tersipu. "Kamu harus lulus dengan nilai baik, ya. Biar nanti bisa jadi guru yang lebih hebat dari aku."
Aku mengangguk penuh semangat, memamerkan senyum lebar padanya. "Pasti, kok! Aku akan lulus dengan nilai bagus, biar bisa jadi guru keren kayak kamu."
Dimas tertawa kecil, tawa yang hangat dan membuat dadaku bergetar. Rasanya tak ada yang bisa menggantikan kehadirannya di hidupku. Kami melanjutkan perjalanan dengan pelan, menikmati sisa-sisa malam yang mungkin menjadi pertemuan terakhir kami di desa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...