Begitu masuk ke dalam rumah, tepuk tangan meriah langsung terdengar dari teman-teman KKN-ku. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, dan Fiqih bahkan menepuk-nepuk pundakku dengan ekspresi bangga yang tak terbendung.
"Hebat! Keren banget lo, Nad!" Fiqih memandangku dengan mata berbinar, seperti baru saja melihat pahlawan super.
Aku tertawa kecil, tapi tangan masih di dada, berusaha menenangkan degup jantung yang tadi terasa seperti berhenti sejenak saat berhadapan dengan Lala.
Mita menyeringai sambil melipat tangan. "Bagus banget! Seneng banget lihat mukanya tadi. Lo nge-skatmat dia total, Nad!"
Adri menggeleng sambil berdecak. "Ah, nyesel banget gue nggak sempet ngerekam ekspresi tuh cewek waktu lo gebrak dia pakai kalimat terakhir itu!" katanya sambil menatapku dengan gaya sok drama.
Aku ikut tertawa bersama mereka, merasa lega luar biasa. Dalam hati aku senang bisa menunjukkan pada Lala kalau aku nggak selemah yang dia kira. Mungkin waktu ketemu Pak Darma dulu, dia liat aku cuma diem makanya dia pikir aku pengecut. Tapi, dia lupa satu hal. Anak kota punya gaya bicara sendiri saat emosinya terpancing.
"Karena kita udah menang lawan 'penyihir desa' itu, gue rasa kita perlu merayakan kemenangan ini!" seru Fiqih dengan semangat.
"Oh, setuju!" Sobara mengangkat tangan. "Ide bagus tuh!"
"Gue setuju seratus persen!" Mita ikut mengangkat tangannya.
Fiqih mengedip, melipat tangan di dada, dan menatap kami semua sambil tersenyum. "Bagaimana kalau malam ini kita makan enak? Gue yang masak!"
Mata kami serempak berbinar. "Setujuuu!" jawab kami serempak dengan nada penuh antusias. Masakan Fiqih kan nggak pernah gagal.
Kami tertawa bersama, suasana rumah mendadak hangat dan ceria. Tiba-tiba semua beban dari tatapan sinis dan gosip murahan di desa ini seolah hilang begitu saja. Sore itu, kami pun mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk makan malam, mengubah rumah kecil kami menjadi tempat perayaan sederhana.
***
Hari ketiga tanpa Dimas, aku merasa sedikit lebih kuat. Mungkin percakapan tajam dengan Lala kemarin memberiku kekuatan baru. Sekarang, aku tak lagi takut menghadapi siapa saja yang mencoba menjatuhkanku. Aku berhak mempertahankan harga diriku, tak peduli apa yang mereka pikirkan.
Di sekolah ketika aku berpapasan dengan Bu Indah di depan ruang guru, matanya langsung memperlihatkan ketidakramahan yang sulit disembunyikan. Dia melirikku, lalu menyilangkan tangan di depan dada. Dia menatapku dengan pandangan menilai.
"Seharusnya Bu Nadine bisa menjaga sikap ketika berada di wilayah orang lain," singgung beliau.
Aku menahan napas. Panas mulai merambat di dalam dada. "Mohon maaf, Bu," jawabku dengan nada tenang yang sengaja kupaksakan. "Maksud Bu Indah, sikap apa yang seharusnya saya jaga?"
Ia sedikit mengangkat dagu, seolah menganggapku bodoh. "Saya dengar, Bu Nadine sudah ... bermesraan dengan seorang lelaki di bukit sana," jawabnya dingin.
Aku tertawa kecil, tak bisa menahan diri. "Itu yang Bu Indah dengar, kan?" Aku memiringkan kepala, berusaha menatapnya lebih lekat. "Apa Bu Indah melihatnya langsung?"
Diam. Raut wajahnya sedikit berubah, ada kegelisahan di balik tatapan angkuhnya. Dia tampak bingung sejenak, seolah tak menduga aku akan bertanya seperti itu.
"Saya hanya mendengar berita ini dari guru-guru lain," jawabnya mulai ragu.
Aku mengangguk perlahan, lalu tersenyum. Senyum yang kutahu pasti tak nyaman baginya. "Kalau begitu, mungkin Bu Indah sudah tahu bahwa lidah adalah letak dosa yang paling banyak kan, Bu? Alangkah baiknya sebelum menyimpulkan sesuatu harus ada bukti yang jelas dulu."
Bu Indah diam lagi, mulutnya terkatup rapat. Ada semburat merah di wajahnya, mungkin malu atau kesal, aku tak tahu pasti. Aku bisa melihat jari-jarinya sedikit gemetar ketika ia berdehem dan buru-buru melangkah masuk ke ruang guru, meninggalkanku berdiri di koridor dengan senyum puas.
Satu demi satu orang yang mencoba menyudutkanku akan kujawab, seperti yang kulakukan hari ini. Aku hanya ingin membersihkan namaku tanpa harus melibatkan Dimas dalam gosip-gosip ini. Meski terasa sulit, aku akan tetap bertahan sampai hari terakhir KKN di desa ini.
***
Di hari berikutnya saat aku baru saja tiba ke sekolah, aku masuk ke ruang guru bersama teman-teman yang lainnya. Mataku langsung menangkap sosok laki-laki yang beberapa hari ini menjadi pemeran utama dalam pikiranku. Dimas duduk tenang di kursinya seperti biasa.
Aku tertegun beberapa detik, hanya berdiri di samping meja sambil mengamatinya dari jauh. Dimas masih belum menyadari kehadiranku di ruangan yang sama. Sampai akhirnya tiba-tiba Mita menyenggol lenganku.
"Sudahlah ...," bisik Mita pelan di telingaku, suaranya menenangkan. "Sepertinya dia nggak tahu apa-apa soal gosip itu."
Aku mengangguk pelan, mencoba meyakinkan diri dengan kata-katanya. Benar juga, mana mungkin Dimas tahu soal gosip konyol itu. Siapa yang akan memberitahunya? Penduduk desa atau keluarganya sendiri? Itu tidak mungkin, karena gosip ini tidak ada hubungan dengannya.
"Gue ke kelas duluan, Mit." Aku pamit sambil meraih beberapa buku pelajaran, berusaha menghindar dari situasi kurang nyaman ini. Bagiku, lebih baik menunggu di kelas yang sepi daripada berada di satu ruangan bersama Dimas. Jujur saja, perasaanku terlalu kacau untuk berhadapan dengannya saat ini.
Ketika tiba di kelas yang masih kosong, aku menghempaskan tubuh ke kursi dan memejamkan mata sejenak untuk meredakan kepenatan yang tiba-tiba datang. Perasaan rindu pada Dimas dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, membuat dadaku sesak. Aku ingin sekali menyapanya seperti dulu, bercanda dan tertawa tanpa beban, tapi kenyataan sekarang tak lagi semudah itu. Semua terasa rumit.
Tiba-tiba suara lembut menyebut namaku, membuatku tersentak. "Bu Nadine."
Aku membuka mata dan menemukan Dimas berdiri di ambang pintu kelas, senyum khasnya menghiasi wajah. Lesung pipinya yang dalam menambah daya tariknya yang tak terbantahkan. Jantungku berdegup cepat saat ia melangkah mendekat. Di hatiku, aku memohon agar ia menghentikan langkahnya. Tapi anehnya aku tetap diam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam hitungan detik, Dimas sudah berdiri tepat di samping mejaku. Aku mendongak, dan tatapanku bertemu dengan matanya yang teduh. Aah, aku benar-benar rindu cara dia menatapku seperti itu.
"Apa kabar?" tanyanya lembut, dengan suara yang rasanya mampu mencairkan seluruh pertahanan diriku. Ia berkedip pelan, tatapan matanya menenangkan justru membuatku semakin berdebar.
Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diriku sendiri. "A‒anu...," gumamku terbata, terlalu gugup untuk menyusun kalimat yang pantas.
Dimas hanya diam, menunggu dengan sabar. Ia tetap memandangku dengan lembut, seolah memberiku waktu.
Aku mengalihkan pandangan, merasa tak sanggup menatapnya terlalu lama. Pandanganku menyapu ruangan kosong. Dengan napas berat, aku mencoba menenangkan diri. Berjuang untuk mengucapkan kalimat yang selama ini kutahan.
"Gue mohon ... jangan bicara sama gue lagi," bisikku sedikit bergetar. Aku memejamkan mata, tak berani melihat reaksinya. Apakah sekarang dia terkejut, bingung atau merasa aku hari ini sangat aneh?
Namun, tiba-tiba suara ramai mulai terdengar dari luar kelas, anak-anak muridku masuk dengan riang menyapaku dan Dimas. Aku mencoba menutupi kebingungan dengan membalas sapaan mereka, meskipun hati kecilku masih diliputi ketegangan.
Dimas diam beberapa saat, lalu tanpa berkata apapun ia memutar tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, ingin sekali berteriak memanggilnya dan menjelaskan apa yang sebenarnya kurasakan. Namun, kata-kata itu terjebak di tenggorokanku, tak mampu keluar. Saat ia sampai di pintu dan menghilang di balik dinding, aku hanya bisa menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba mengancam keluar.
Kepalaku menunduk, merasa bersalah. Satu hal yang terus berkecamuk dalam hatiku adalah ketakutan bahwa aku telah menyakitinya. Aku merasa jahat.
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
Chick-LitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...