23

918 68 0
                                    

Hari itu, rasanya seperti berat sekali untuk fokus mengajar. Pikiran dan hatiku seakan tertinggal di kejadian pagi tadi. Saat kalimat itu meluncur dari mulutku tanpa bisa kutahan, meminta Dimas menjauh. Tidak ada respon darinya. Hanya tatapannya yang tak bisa kubaca karena aku yang saat itu menutup mata, tidak sanggup menatap wajahnya. Apa dia merasa tersakiti? Apa dia mengerti kenapa aku berkata begitu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di kepalaku.

"Kenapa, Nad?" tanya Sobara tiba-tiba, membuatku sedikit tersentak dari lamunan. Dia membantu memasukkan buku-buku ke dalam tote bag hitamku saat bel istirahat berbunyi.

Aku mencoba tersenyum walau lelah rasanya. "Kayaknya gue pusing, Sob. Abis ini gue mau pamit pulang duluan, deh."

Kami berjalan keluar kelas berdampingan. Beberapa kali Sobara melirikku dengan penuh perhatian. "Mau gue temenin? Kebetulan, gue juga udah nggak ada jadwal ngajar lagi."

Aku menggeleng cepat. "Nggak usah, Sob. Gue sendiri aja. Lagian, nggak enak kalau ditemenin sama cowok."

Sobara tersenyum, namun tetap saja tak ingin membiarkanku sendirian. "Kalau sama Mita, gimana? Gue bisa gantiin jadwalnya biar dia bisa temenin lo."

Aku terdiam sejenak untuk berpikir, kemudian mengangguk. "Boleh deh, kita tanya Mita nanti."

Di ruang guru, suasananya agak lengang. Sebagian guru sudah pergi makan siang, ada juga yang pulang sebentar untuk istirahat. Saat masuk, mataku langsung menangkap sosok Dimas di sudut ruangan. Tanpa sengaja, pandangan kami bertemu, dan entah kenapa kali ini aku tak bisa langsung mengalihkan tatapan.

Dimas menatapku lama, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan. Jantungku berdebar, mataku terpaku padanya. Sampai tiba-tiba ...

"Eh, Nadine!" kaget Fiqih. 

Aku langsung tersadar mendengar suara Fiqih. Ternyata aku hampir menabraknya.

"Aduh! Maaf, Fiq," ucapku dengan cengiran salah tingkah dan malu.

Fiqih membalikkan badan, menatapku dengan alis terangkat. "Lo kenapa? Kelihatan nggak fokus gitu," ujarnya menatap wajahku dengan seksama.

Aku hanya tersenyum, mencoba menepis kecemasannya. "Nggak kok, Fiq. Gue baik-baik aja."

Di sisi lain, Sobara sudah berbicara dengan Mita yang sedang asyik makan cokelat kacang di mejanya. "Mit, lo abis ini ngajar kelas enam, kan? Mau gue gantiin nggak?"

Mita mengerutkan dahi karena bingung. "Iya, pelajaran IPA. Emang kenapa, Sob?"

"Gue gantiin aja, lo temenin Nadine pulang. Dia lagi pusing, kayaknya butuh istirahat."

Sontak, semua orang di ruangan itu menoleh ke arahku. Aku mengerjap gugup, tersenyum tipis, merasa sedikit canggung dengan tatapan mereka.

"Lo sakit, Nad?" tanya Fiqih cemas sambil meraih bahuku, seperti memastikan aku baik-baik saja.

Aku mengangguk pelan. "Iya, Fiq. Mungkin cuma kecapekan aja. Kayaknya emang lebih baik gue pulang dulu, biar bisa istirahat."

Mita segera berdiri, tampak sigap dan bersiap. "Oke, yuk. Gue temenin lo pulang sekarang."

Aku mengucapkan terima kasih, melambaikan tangan pada teman-teman, lalu beranjak pergi bersama Mita. Namun, sesaat sebelum benar-benar keluar, aku melirik ke arah Dimas sekali lagi. Dia menunduk, tampak sibuk dengan tugasnya, seolah tak peduli pada keberadaanku.

Di dalam hati, ada rasa kecewa yang sulit kutepis. Apa dia benar-benar tak menyadari bahwa keadaan sedang kacau?

*

Di perjalanan pulang, aku dan Mita saling berbicara tentang apa yang terjadi di sekolah tadi. Mita dengan penuh semangat menceritakan bahwa tidak semua orang di ruang guru membenciku. Beberapa dari mereka malah membelaku, dengan alasan bahwa belum tentu gosip itu benar. Ternyata yang membelaku sebagian besar adalah para guru pria. Mereka yang memang nggak suka bergosip seperti kebanyakan wanita.

"Syukurlah masih ada yang waras di sana," gumamku pelan sambil terus melangkah mengikuti Mita. "Tapi, Dimas udah tahu apa belum ya?"

Mita hanya mengangkat bahunya. "Gak tahu, deh. Tadi pas bahas itu, Dimas nggak ada di ruang guru."

Artinya lelaki itu belum tahu kalau dunia di sekitar kami sedang kacau. Aku menarik napas panjang, sedikit lega, tapi tetap ada kekhawatiran yang menggelayuti. Aku nggak ingin menjadi pahlawan seperti yang dikatakan Lala kemarin. Sungguh, aku hanya ingin masalah ini cepat selesai, tanpa jadi berlarut-larut. Gosip, toh, takkan bertahan lama. Kasih waktu seminggu, semua akan reda. Dua minggu, pasti hilang. Sebulan, siapa yang masih ingat?

"Nad, ayo ke pasar yuk!" Mita tiba-tiba mengajak.

"Pasar? Di mana?" Aku menoleh, sedikit bingung.

"Di kampung sebelah. Kita naik ojek aja, gimana?"

Aku hanya terdiam beberapa detik, merasa bingung harus menjawab apa. Mita mendelik dengan ekspresi penuh penyesalan. "Duh, gue lupa. Lo lagi pusing, kan? Masa gue ajak lo ke pasar? Hadeeeh, bodoh banget sih gue?"

Aku tak tahan menahan tawa melihat ekspresinya yang tiba-tiba berubah jadi galau. "Boleh juga, sih. Mungkin ada cemilan yang bisa dimakan di sana," jawabku akhirnya. Kebetulan juga sekarang aku sedang berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran tentang Dimas.

Mita langsung tersenyum lebar. "Gue tahu kok, Nad. Lo pusing bukan karena nggak enak badan, tapi karena Pak Dimas, kan?" tebaknya.

Aku hanya bisa tersenyum masam, meringis. Aku nggak membantah. Karena memang, kenyataannya, aku pusing bukan karena sakit. Tapi karena memikirkan Dimas.

*

Sesampainya di rumah, kami buru-buru mengganti pakaian dengan yang lebih santai. Begitu selesai, kami segera menuju gapura untuk mencari ojek. Rasanya seru, seperti menyelinap keluar dari sekolah dan membolos. Tawa kami berdua hampir tak berhenti saat ojek mengantarkan kami sampai ke desa sebelah.

"Terima kasih ya, Pak," ucapku sambil menyerahkan uang dua puluh ribu kepada abang ojek, begitu juga dengan Mita yang ikut memberikan uang.

Kami berjalan berdampingan, berhenti sebentar di depan pasar. Suasana pasar yang ramai, dengan aroma ikan, sayur, dan jualan lainnya. Mita menoleh ke arahku dengan senyum lebar.

"Mit, malam ini makan enak yuk!" Aku berkata dengan semangat, suara penuh antusiasme.

"Ada perayaan apa?" tanya Mita tampak bingung.

Aku menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa, cuma pengen manjain lambung aja. Rindu makanan kafe gitu loh, hehe."

Mita tertawa kecil. "Oh, kalau gitu lo mau makan apa?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. "Bikin ayam katsu bisa gak, sih?"

Mita langsung menjentikkan jarinya, ekspresinya tiba-tiba penuh kepercayaan diri. "Kecil banget itu! Mau apa lagi?" katanya dengan nada sok jago.

Aku tertawa, merasa sedikit malu. "Udah itu aja, tapi jangan lupa sausnya, ya. Biar rasanya kayak di kafe-kafe gitu."

Mita mengangguk setuju, senyumannya semakin lebar. Tanpa buang waktu, dia langsung menarik tanganku ke dalam pasar. Kami menyusuri deretan kios, membeli beberapa potong dada ayam untuk lima porsi. Selain itu, kami juga membeli bahan-bahan untuk membuat ayam katsu dan beberapa camilan untuk dibawa pulang. Tak lengkap rasanya kalau malam ini tidak ada cemilan—kami berlima memang tak bisa lepas dari kebiasaan ngemil saat mengerjakan laporan KKN.

Mita terus menggandengku sambil sesekali memperlihatkan ekspresi senang, seolah hari ini adalah hari spesial. Kami berdua melangkah keluar dari pasar dengan kantong penuh bahan makanan. Sudah siap untuk memanjakan diri dengan hidangan sederhana yang bisa kami buat sendiri di rumah.

*

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang