Setelah rencana pertemuanku dengan Dimas batal malam itu, kami sama sekali tak membicarakan kapan akan berjanji lagi. Hari ini, aku punya agenda lain yaitu pergi ke kota bersama Fiqih dan yang lainnya.
Niat awalnya sederhana saja, mencari sinyal dan membeli beberapa perlengkapan dasar, seperti alat mandi dan kebutuhan dapur. Tapi, sejak obrolanku dengan ibunya Dimas beberapa waktu lalu, ada tujuan lain yang diam-diam aku tetapkan untuk diriku sendiri. Aku ingin membeli sesuatu yang bukan hanya untuk diriku, tapi untuk orang banyak.
Aku duduk di kursi samping Fiqih yang mengemudi, menikmati suasana cerah yang sangat berbeda dari hujan deras kemarin.
"Fiq, nanti cari ATM dulu, ya." Aku bersandar, menikmati kenyamanan perjalanan.
Fiqih melirik sekilas, lalu mengangguk. "Oke. Tapi kalau ternyata nggak ada ATM gimana?"
Aku menatapnya, mempertimbangkan sejenak. "Hmm, kamu bawa uang cash nggak?"
"Berapa?" tanyanya, wajahnya berubah penasaran.
"Empat... atau lima juta-an gitu, lah."
Fiqih spontan tertawa, lalu menggeleng. "Astaga! Lo mau jajan apaan sampe segitu banyak? Emang kita ke kota nanti mau ke mall?"
Aku balas tertawa kecil. "Siapa juga yang bilang mau ke mall."
"Nah, terus buat apa uang sebanyak itu? Belanja yang biasa-biasa aja, kali."
Aku hanya tersenyum, membuatnya semakin penasaran. "Udah, pokoknya lihat aja nanti."
*
Setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di kota yang terlihat sangat berbeda dari tempat tinggal kami. Di sini, gedung-gedung tinggi nyaris tidak ada, hanya ruko-ruko sederhana yang menjulang. Namun, satu hal yang jelas yaitu handphoneku seolah memiliki nyawa baru. Ratusan notifikasi berbaris masuk, dan aku merasa lega saat melihat layar penuh dengan notifikasi.
"Nad, nggak turun?" tanya Fiqih, memarkir mobil dengan rapi di tepi jalan. Aku melirik ke belakang dan melihat tiga temanku sudah turun, tinggallah aku yang terjebak dalam kerinduan untuk berlama-lama melihat layar ponsel.
"Oh, oke," jawabku sambil ragu. Rasanya ingin saja bersembunyi di dalam mobil, menikmati beranda sosial media. Tapi ingat tujuan kedatanganku ke sini, aku pun akhirnya membuka pintu dan keluar.
Di luar, Mita sudah asyik dengan handphone-nya, matanya terfokus pada layar. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, dan kami berada di pusat perbelanjaan kota ini.
"Kita kemana dulu?" tanyaku, masih menggenggam handphone.
"Tungguin Sobara dulu, Nad. Dia lagi nelpon bokapnya," kata Adri sambil melirik Sobara yang tersenyum lebar saat melakukan video call.
Tanpa membuang waktu, aku juga mencoba menelpon Mama yang pasti baru saja menyelesaikan sarapan. Begitu panggilan diterima, wajah Mama muncul di layar, dan senyum lebar merekah di wajahku.
"Hai, Ma!" sapa ku dengan ceria.
"Ya Allah, anakku!" Suara Mama meluap penuh kebahagiaan. "Kamu di mana, Nak? Kenapa baru bisa dihubungi?"
"Nadine lagi di kota, Ma. Maaf baru bisa video call sama Mama. Ini juga ada yang mau dibeli sama teman-teman."
"Kamu kurusan, Nak. Jangan terlalu capek. Makannya juga yang teratur, jangan sampai sakit."
Aku mengangguk, menahan kerinduan. Melihat mata Mama mulai berkaca-kaca membuat hatiku ikut bergetar. Rindu dengan aroma rumah, masakan Mama, dan suaranya yang selalu menjadi alarm pagiku. Semoga selama aku jauh darinya, Mama selalu sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...