Dua jam berlalu di pasar, dan akhirnya kami sampai lagi di desa. Begitu langkahku melewati gapura, rasa sesak yang sejak tadi tak muncul tiba-tiba kembali membebani dada. Kejadian tempo hari saat Pak Darma memarahiku kembali terngiang dan membuatku merasa terasing dari tempat ini.
Ojek kami berhenti tepat di depan rumah. Mita turun lebih dulu, langsung membawa beberapa plastik belanjaan, sementara aku menyusul di belakangnya. Baru saja menghela napas lega, aku mendongak dan hampir tersentak saat melihat seseorang duduk di depan pintu dengan tatapan tajam yang langsung menusuk ke arahku.
"Dimas?"
Dimas berdiri perlahan. Ia masih memakai kemeja yang tadi dikenakannya di sekolah, namun tanpa tas. Di balik tatapannya yang tenang, ada perasaan tidak nyaman yang membuatku semakin sulit bernapas. Mita yang tampak memahami situasi, segera menyambar plastik belanjaanku tanpa sepatah kata dan menghilang ke dalam rumah, meninggalkan aku dan Dimas berdua.
"Emm ... ngapain ada di sini?" tanyaku dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Saya dengar kamu sakit," jawabnya singkat namun masih terdengar lembut.
Aku terdiam. Dimas pasti sekarang tahu kalau "sakit" yang kulaporkan hanyalah alasan untuk bolos. Dan saat ini, kehadirannya seakan menuntut penjelasan yang tak ingin kuberikan.
"Ya, tadi pusing ... tapi sekarang sudah mendingan," jawabku pelan, mencoba menahan rasa gugup yang membuat tenggorokanku terasa kering.
"Syukurlah," ujarnya, tapi tatapannya masih tertuju kepadaku.
Aku hanya mengangguk, menunduk tanpa keberanian untuk membalas tatapannya.
"Dari pasar?" tanyanya lagi memecah keheningan.
Aku mengangguk lagi. "Iya ... beli bahan buat makan malam."
Sunyi kembali menyelimuti. Dimas hanya berdiri di sana, sementara aku merasakan pandangannya yang menyelidik masih tertuju padaku.
"Lo ... nggak balik ke sekolah?" tanyaku, setengah berharap dia segera pergi.
Dimas menarik napas, nadanya terdengar tenang. "Saya ke sini cuma ingin tahu keadaanmu."
"Gue baik-baik aja. Masih bernapas dan sehat, " jawabku pendek, berusaha mengendalikan nada suaraku yang sedikit bergetar.
Keheningan kembali. Tak ada yang diucapkan, namun ada atmosfir canggung yang seakan mengikat kami dalam situasi ini.
"Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Dimas tiba-tiba, memecah diam yang tak nyaman ini.
Aku tertegun. "Hm?" gumamku sambil mengerutkan kening, pura-pura tak mengerti.
"Kenapa tadi pagi kamu bicara begitu?" Dimas bertanya, ekspresinya tak lagi setenang tadi. Dia kini bersedekap, menatapku dengan sorot mata yang penuh tuntutan. Seketika itu juga, aku tahu dia sedang marah.
"Apanya yang nggak jelas dari yang gue bilang tadi pagi?" tanyaku, berusaha keras menahan getaran di suaraku.
"Apa saya punya salah?" tanyanya dengan nada rendah, tapi jelas menyimpan kekecewaan.
Pertanyaannya bagai tamparan. Aku ingin sekali menjelaskan bahwa bukan dia yang salah, perempuan menyebalkan yang bernama Lala itu. Namun, rasa takut dan beban di dadaku menahan semuanya, membuat lidahku kelu.
"Nadine ...." Suara Dimas kali ini lebih lembut.
"Lo nggak ada salah. Gue cuma nggak pengen dekat sama siapapun di sini. Toh, gue bakalan pergi dan nggak akan balik lagi ke desa ini. Jadi, buat apa gue dekat-dekat sama seseorang, termasuk lo," jawabku berusaha mempertahankan nada tegar walau di dalam hati aku merasa sangat sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...