Kejutan demi kejutan yang kudapatkan di Desa Hamparan Bintang akan membuatku menjadi lebih dewasa. Aku percaya itu.
***
Aku mengoleskan cushion di wajah, memastikan kulitku terlihat segar meskipun hanya dengan riasan natural. Di dalam kamar mandi, aku memeriksa wajahku di cermin. Hanya lip tint di bibir dan cushion untuk menyamarkan noda.
"Lumayan," gumamku, memutar-mutar lip tint dengan puas. Handuk kecil masih melilit di atas kepalaku. Mengeringkan rambut begini lebih praktis, lagipula aku tak ingin memakai listrik di rumah orang hanya untuk hair dryer. Harus tahu diri, kan?
Aku melepas handuk dari kepala dan mulai menyisir rambut dengan jari-jari. Tak berani pakai sisir, karena rambut yang basah rentan rontok. Rasanya aku seperti putri kerajaan yang lagi dandan di istana, padahal cuma menumpang mandi di rumah Pak Kades.
Setelah memastikan penampilan sudah cukup oke, aku menyemprot sedikit parfum di pergelangan tangan, menempelkan ke bawah telinga, dan tersenyum pada bayangan diriku di cermin.
Dengan hati yang sudah lebih tenang, aku membuka pintu kamar mandi dan ...
"Astaga!" Aku langsung menjerit pelan sambil menempelkan tangan di dada. Dimas berdiri di luar. Ia bersandar di dinding sambil membaca sebuah buku. Ia menatapku sebentar, lalu menutup bukunya dengan santai.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan nada datar.
"I-iya," jawabku setengah gugup dan setengah bingung. Kenapa dia ada di sini? Apakah ... apakah dia menunggu dari tadi?
Dimas mengangguk singkat. "Ya sudah. Kamu ditunggu di ruang tamu."
Aku mengangguk pelan, tapi saat dia hendak pergi, aku refleks menarik ujung lengan kaosnya. "Tunggu!" ucapku cepat, membuatnya berhenti.
Dimas menoleh sedikit, matanya tajam tapi tetap tenang. "Kenapa ditarik?"
"Oh, maaf!" Aku buru-buru menurunkan tangan, menundukkan kepala sambil meringis. "Lo ... ada di sini sejak kapan?"
"Sejak kamu masuk kamar mandi."
Aku melongo. "Hah? Jadi lo nungguin gue dari tadi?"
Suara tinggiku rupanya menarik perhatian seorang wanita paruh baya yang langsung mendekat. Kulihat itu adalah ibunya Dimas, dengan wajah khawatir. "Ada apa, Neng? Teriak-teriak segala."
Aku tergagap, bingung harus menjawab apa. Lirikanku kembali pada Dimas yang menatap tajam, seolah menyuruhku tutup mulut. Aku menelan ludah. "Eh, tadi ada kecoa, Bu," jawabku asal.
Ibunya langsung menggeleng. "Ya ampun, Dimas! Sudah Ibu bilang untuk semprot racun serangga di semua sudut, kan?"
Dimas melengos, jelas tak tertarik untuk menanggapi. "Sudah kok, Bu. Kemarin."
Ia pergi begitu saja, meninggalkan aku yang merasa bersalah.
Setelah permintaan maaf dari ibunya atas "ketidaknyamanan" yang kubuat-buat sendiri, aku menarik koper ke ruang tamu. Teman-temanku sudah menatapku dengan senyum jahil, terutama Fiqih yang melambaikan tangan, memberi isyarat bahwa ia akan mengolokku nanti.
Pak Darma menyambutku dengan ramah, menanyakan apakah aku sudah merasa lebih baik. Aku tersenyum dan berterima kasih, berusaha fokus mendengarkan penjelasan beliau tentang desa dan peraturan selama kami berada di sini. Tapi pikiranku melayang pada Dimas. Setiap beberapa menit, aku melirik ke arah dalam rumah, berharap dia muncul lagi.
Sampai sore tiba dan kami harus pulang ke penginapan, Dimas tak juga muncul. Huh, entah kenapa aku merasa kesan pertamaku di matanya benar-benar payah
*
Nyaris jantungku berhenti saat melihat rumah kecil dari kayu yang berdiri di tengah hamparan sawah yang luas. Pak Darma membawa kami ke sebuah rumah yang seolah tersembunyi di antara lautan hijau padi, jauh dari hiruk-pikuk kota yang biasa kuanggap "normal". Desa Hamparan Bintang ini ternyata memang benar-benar pelosok, dan aku mulai mempertanyakan keputusan menghabiskan tiga bulan di sini.
Fiqih yang sejak tadi berdiri di sampingku menyenggol lenganku, menahan senyum licik sambil mencondongkan diri untuk berbisik, "Udah pamitan sama internet di Insta Story belum?"
Aku mengerutkan kening, bingung. "Apa maksud lo?"
Senyum Fiqih semakin lebar. "Coba cek HP lo."
Detik itu juga aku merogoh saku dan buru-buru membuka layar. Hal pertama yang kulihat adalah ikon sinyal di pojok layar.
"Oh ... My ... God!" Aku nyaris terpekik. "Nggak ada sinyal?! Fiq, lo becanda kan?"
Fiqih meledak dalam tawa, sementara aku panik. "Nggak mungkin, kan? HP gue rusak kali, ya?" Aku mengangkat ponsel tinggi-tinggi, berusaha menangkap sinyal meskipun cuma satu garis kecil.
Fiqih menepuk pundakku pelan. "Lihat sekitar deh, princess. Ini desa, dan benar-benar desa."
Aku mengedarkan pandangan, menatap hamparan sawah yang membentang hingga ke kaki bukit, dengan rumah-rumah kayu dan suara angin yang menggoyangkan padi. Perlahan-lahan, realita yang disampaikan Fiqih menyusup ke pikiranku. "Jadi ... nggak ada sinyal sama sekali di sini?"
Fiqih mengangguk dengan senyum geli. "Selamat datang di dunia nyata. Sekarang saatnya lo rehat dari dunia maya."
Kalimat Fiqih walau cuma candaan, terasa seperti tamparan telak. Dengan pasrah, aku menyimpan HP ke dalam tas sambil mendesah. Sobara dan Adri yang ikut mengamati reaksiku hanya bisa cekikikan.
"Ngapain ketawa? Kalian tuh nggak bantuin sama sekali, tahu!" kesalku.
Tiba-tiba Mita melintas di dekatku dan melirik sinis. "Dewasa dikit, bisa kan?" katanya datar. "Dasar manja!"
Aku mendengus, menahan rasa dongkol. "Apa maksud lo, Mit?"
Mita berhenti, berbalik dan menatapku tajam, ekspresinya serius. "Drama lo ini norak banget, tau nggak? Kelakuan lo malah lebih kampungan dari desa ini."
Kata-katanya seperti duri yang menusuk telak, membuat dadaku panas. Mau marah, tapi aku nggak bisa menyangkal apa yang dia bilang. Tatapan sinisnya itu seolah bilang, stop berlebihan deh, nggak ada yang peduli sama kecanduan lo dengan sosmed di sini. Lalu tanpa menunggu respon dariku, dia melenggang masuk ke rumah kayu.
Aku berdiri kaku, rasa malu dan marah bercampur aduk di dadaku. Pelan-pelan, kurasakan air mata menitik. Apa benar aku bisa bertahan hidup tanpa internet dan dunia virtual yang selama ini bikin aku nyaman? Terisak pelan, aku akhirnya menyadari bahwa tiga bulan ini mungkin akan lebih sulit daripada yang aku bayangkan.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
Chick-LitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...