Aku berdiri di depan warung kecil itu. Terpaku menatap jajaran toples bening yang tampak usang, tutupnya berwarna merah dan sedikit kusam. Toples-toples itu berisi permen warna-warni dan cokelat kecil berbentuk bola. Di atasnya ada jajaran camilan menggantung rendah, dan toples kaleng berisi kerupuk menempel di dinding kayu yang lapuk di bagian depan warung. Sungguh pemandangan yang jarang kulihat di kota.
Aku menggaruk kepala, bingung harus membeli apa. Sampai akhirnya, seorang anak perempuan sekitar dua belas tahun keluar dari dalam warung dan tersenyum manis padaku.
"Bu Guru mau beli apa?" tanyanya ceria.
Aku tersentak, sedikit terkejut. Lalu tersenyum sambil mengangguk pelan. Oh, ini Nisa! Aku ingat dia, anak yang tadi pagi kulihat bermain lompat tali di depan sekolah.
"Eh ... mau beli ...." Aku melirik ke arah jajaran permen, ingin sekadar membeli satu atau dua untuk basa-basi. Namun, sebelum sempat aku lanjut bicara, suara rendah seseorang terdengar dari belakang.
"Nisa, beli rokoknya."
Detik itu juga, jantungku berdegup kencang. Suara itu! Aku hafal siapa pemilik suara itu. Tanpa perlu menengok, aku tahu dia adalah Dimas, anak Pak Kades.
Nisa mengangguk cepat dan berkata, "Iya, Pak Dimas."
Aku merasa lututku melemas. Apa aku benar-benar harus berhadapan dengannya sekarang? Dalam hati, niatku ke warung ini memang sedikit ada hubungannya dengan Dimas, berharap sekilas melihatnya.
Tapi sekarang? Ternyata tak seperti yang kubayangkan. Mendengar suaranya saja sudah membuat dadaku seperti dihantam palu. Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana, berharap dalam hati agar dia tidak mengenaliku.
Tak lama kemudian, Nisa keluar dari dalam warung dengan sekotak rokok dan menyerahkannya ke Dimas. Aku melirik sekilas ke arah tangannya yang kekar tepat di samping kiriku, lalu buru-buru berpaling.
"Kembaliannya dua ribu, Pak," kata Nisa sambil tersenyum malu-malu.
"Tidak usah, simpan saja buat jajan," balas Dimas dengan nada tenang, tanpa sedikit pun terdengar terburu-buru.
Aku mengamati ekspresi Nisa yang terlihat sumringah. Dua ribu rupiah, uang yang sangat sepele bagiku, membuatnya tersenyum seperti mendapat hadiah berharga.
"Bu Guru mau beli apa?" suara Nisa tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan.
Aku terkesiap dan makin gugup. Sadar bahwa Dimas pasti mendengar panggilan itu. Sial, sudah ketahuan. Tak ada lagi jalan keluar.
"Bu Nadine?" Suara Dimas pelan dan terdengar ragu, seperti memastikan bahwa memang aku yang ada di sini.
Aku menahan napas sesaat, lalu akhirnya berbalik dan tersenyum kikuk. "Selamat malam, Pak Dimas."
Dimas tidak menjawab dan terdengar dia mengembuskan napas panjang seperti biasa setiap kali berhadapan denganku. Kacau, deh! Pupus sudah harapanku untuk melanjutkan misi membuat Dimas jatuh cinta padaku sementara aku yang selalu gemetar setiap bertemu dengannya
*
Aku memeluk toples permen erat-erat, satu-satunya "harta" yang kubawa pulang malam ini. Rasanya konyol, tapi ada semacam kepuasan saat benda kecil itu ada di tanganku.
Selain itu, uang kembaliannya kutinggalkan buat Nisa membuat anak kecil itu tampak senang sekali saat menerimanya. Sperti yang diucapkan Dimas kalau kembalian itu untuk jajan, dan aku ikutan memberi kembalianku juga. Ya, dan berakhir dapat bonus toples permen ini.
Tanganku dingin saat berjalan pelan di jalan desa yang sedikit becek setelah hujan. Sebenarnya sih, bisa saja aku pulang lebih cepat. Tapi apa daya, di sampingku sekarang ada Dimas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
Chick-LitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...