Tiga tahun kemudian ....
aku menapakkan kaki di lantai marmer yang mengkilap, menyusuri koridor sekolah yang luas dan tertata rapi. Pemandangan murid-murid yang berjalan tertib dan rapi, saling menyapa dengan senyum, membuatku bangga.
Sekolah Wisdom Primary School International, bukan tempat yang mudah untuk ditembus, dan aku masih ingat perjuanganku saat mencoba menjadi guru di sini. Beruntungnya nilai-nilai dan pengalaman mengajarku berhasil membawaku ke sini. Dan di sinilah aku sekarang, berdiri dengan hati berdebar melihat gedung yang terasa megah.
"Good morning, Miss Nadine," sapa sekelompok anak-anak berseragam rapi.
Aku tersenyum sambil membalas, "Morning, students!" Suaraku berusaha terdengar hangat namun profesional. Selalu ada rasa bangga tiap kali disapa begitu.
Di tengah perjalanan menuju ruang guru, aku mendengar langkah cepat di belakangku. "Morning, Nad!" Suara yang sangat kukenal. Nada bicara yang riang dan tak pernah gagal membuatku tersenyum.
Aku menoleh. "Pagi, Pak Fiqih," balasku sambil berusaha menahan tawa. Formalitas di sekolah ini membuatku harus menyebutnya "Pak."
Fiqih mengerutkan hidung, dan aku bisa melihat usahanya menahan diri agar tak tertawa lepas.
"Fiqih, kebiasaan banget becanda mulu, deh. Kita lagi di sekolah, inget?" bisikku.
"Hehe, iya iya, maaf deh," jawabnya pelan seraya menyengir.
Kami melanjutkan berjalan bersama menuju ruang guru. Gedung sekolah ini memang besar, jadi ada banyak waktu bagi kami untuk ngobrol sepanjang jalan.
"Gimana suasana hati pagi ini?" tanyanya dengan nada yang dibuat-buat penuh perhatian.
Aku menghela napas dan mencoba merendahkan ekspresi wajah. "B aja, kok."
"Masa sih?" Fiqih melirikku, lalu menyenggol lenganku. "Kayaknya butuh nelpon si Pak Guru buat mood booster, nih!"
Aku hanya bisa tertawa kecil dan menggeleng.
Ah, Dimas. Kami masih berhubungan, meski lebih sebagai teman. Setiap tiga bulan sekali, kami bertemu, walau hanya beberapa jam. Tetapi, belakangan, sudah enam bulan tak ada kabar. Ada kekhawatiran yang terselip dalam hatiku, tapi kuputuskan untuk tidak mengeluh. Hubungan kami ini aneh, menggantung. Aku sayang padanya, tapi kami tak pernah benar-benar menyebutnya sebagai "pacaran."
"Udah tiga tahun, loh, Nad. Lo nggak bosen belum jadian sampai sekarang?" sindir Fiqih sambil mengangkat alis. "Jangan sampe gue yang harus ngelamar lo, nih."
Aku menyikut lengannya sambil tertawa geli. "Nggak perlu repot-repot, ya! Gue nggak ngebet buat nikah, kok."
"Daripada lo di-PHP terus sama Dimas?" godanya.
"Bodo amat, Fiq! Emangnya gue perlu stempel 'pacar' buat bahagia? Nyatanya, kita fine-fine aja, kok."
Dia terkekeh, mengangkat bahu. "Bilang aja lo takut LDR-an, kan?"
Aku terdiam sejenak, kemudian menghela napas. "Fiqih, jujur, gue nggak yakin kalau gue sanggup LDR-an. Gue bisa overthinking parah tiap kali Dimas nggak ngabarin. Posesif, curigaan, itu gue banget kalau udah pacaran."
"Hm, ya udah. Kalau gitu friendzone aja terus sama Dimas," balasnya sambil menatapku dengan tatapan penuh sindiran. "Atau, jadian aja sama gue? Gue nggak bakalan biarin lo overthinking."
Aku menatapnya dengan mata menyipit. "Cukup lo pernah mimpi pacran ama gue aja, Fiq. Nggak usah direalisasikan."
Dia cengengesan sambil menahan tawa, "Iya-iya, gue cuman bercanda, Nad. Daripada lo misuh-misuh nggak jelas, mending kita sarapan dulu. Tapi, traktir gue, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Bintang [END]
ChickLitDimas mengulurkan tangan. "Nama saya Dimas, Guru Matematika di sini." Aku mengangguk, tersenyum kikuk sambil menjabat tangannya yang terasa hangat dan kuat. "Saya Nadine." Dimas melirik benda yang kupegang sejak tadi. "Buat apa kamu bawa handphone?"...