04

1K 85 0
                                    

Bulan kini menggantikan matahari, memancarkan cahayanya yang lembut di atas hamparan padi yang melambai-lambai. Aku duduk meringkuk di ruang tamu sederhana rumah ini, ruang yang juga merangkap sebagai ruang tengah dan dapur. 

Hanya ada tiga lampu di seluruh rumah; satu di kamar tidur, satu di ruang tamu, dan satu lagi untuk dapur yang sekaligus menerangi kamar mandi. Dengan dinding bambu dan atap genteng tanah liat, rumah ini terasa sangat jauh dari kenyamananku di kota. Kuhela napas panjang, berusaha menerima kenyataan bahwa aku terdampar di sini.

"Ngapain, Nad?" suara Fiqih tiba-tiba mengejutkanku dari lamunan. Dia muncul sambil membawa piring putih berisi pisang goreng yang masih mengepul. Senyum lebar di wajahnya terlihat usil, dan tangannya menyodorkan piring itu ke arahku.

"Mita yang bikin. Cobain, deh! Enak, lho," katanya dengan semangat.

Ah, Mita? Aku masih kesal dengan cewek itu! Kata-katanya yang menyakitkan tadi masih membekas. Dan sekarang, dia berharap aku mau makan hasil masakannya?

"Gak ah. Gue mau cari makan di luar aja," sahutku sambil menyingkirkan tangan Fiqih yang menyodorkan piring itu. Ekspresiku kupasang malas, sengaja memberi isyarat betapa enggannya aku menerima apapun dari Mita.

"Mau cari makan apaan?" Fiqih menahan tawanya. "Siomay? Seblak? Di mana coba di sini?"

"Ya apa aja yang bisa gue makan, deh," jawabku. Tapi bukannya membantuku, dia malah tertawa lepas.

"Lo sadar gak sih, Nad? Di luar lagi gerimis, lho."

Aku memicingkan telinga, dan benar, terdengar suara rintik-rintik hujan kecil di atas genting. Aku mendengus lelah. Seandainya ada layanan pemesanan online seperti di kota, aku pasti langsung pesan, bahkan rela bayar mahal! Tapi ... kenyataan pahitnya, sinyal pun tak ada di sini.

"Makan ini aja dulu, Nad," ucap Fiqih pelan, sambil meniup pisang goreng di tangannya dan menyodorkannya lagi padaku. "Dingin-dingin begini, kalau lo kelaparan bisa masuk angin."

Aku hanya menatap pisang goreng itu tanpa bergerak, meski perutku mulai berbunyi minta makan. Ah, gengsiku terlalu tinggi untuk menerimanya!

"Nggak mau," jawabku lagi, keras kepala.

"Hah ...." Fiqih menghela napas panjang, lalu meletakkan pisang goreng itu di atas piring dan menatapku penuh kesabaran. "Ya udah. Lo mau makan apa emangnya? Pizza? Spageti? Atau burger?"

"Gue gak pilih-pilih makanan, kok!" bantahku. Rasanya kesal banget dia menyangka aku sengaja menolak pisang goreng itu karena pilih-pilih. Padahal ... ya, sebenarnya aku cuma nggak suka karena itu buatan Mita.

"Nah, kalau gitu coba ini aja. Lo bilang gak pilih-pilih, kan?" Fiqih menyodorkan pisang goreng itu lagi. Kali ini nadanya lembut kayak lagi merayu anak kecil.

Aku tetap memasang wajah cemberut. "Gue gak pilih-pilih makanan, tapi nggak harus makan buatan orang yang gue gak suka, kan?"

Fiqih malah tertawa dan menggeleng-geleng. "Ini loh, Nad ... Sobara dan Adri yang beli bahan, gue yang bikin adonan, Mita yang goreng doang. Jadi, ini gak sepenuhnya buatan Mita. Fair, kan?"

"Oh...." Aku terdiam, merasa seperti anak kecil yang kedapatan berbohong. "Eh, kenapa gue gak disuruh bantu?"

"Lo bisa bikin adonan?" tanya Fiqih sambil menatapku dengan satu alis terangkat.

Aku menggeleng.

"Masak, bisa?"

Lagi-lagi aku menggeleng. Ah, pantesan mereka tidak mengajak aku. Rasanya ... malu juga.

Fiqih menahan tawa lalu mengacak rambutku pelan. "Lo lucu banget sih! Udah, makan aja ya. Kasian perut lo tuh bunyi terus dari tadi."

Akhirnya, gengsiku runtuh. Kuambil sepotong pisang goreng yang masih hangat, lalu menggigitnya pelan-pelan. Rasa manis dan lembutnya segera memenuhi mulutku, membuatku terkejut.

"Eh, enak banget!" ujarku dengan mata berbinar.

"Nah, kan! Gue jago, kan?" Fiqih langsung menyombongkan diri.

Aku tertawa, tak mampu menahan rasa senang di tengah suasana dingin yang kian menusuk. Tanpa sadar, aku sudah habis empat potong pisang goreng, dan perutku terasa nyaman. Fiqih yang melihat tingkahku malah menertawaiku.

"Dasar gengsi gede, padahal kelaparan," ejeknya.

Aku tertawa bersama dia. Entah kenapa, di tengah kekecewaan dan kejutan-kejutan di desa ini, ada juga momen hangat yang akhirnya membuatku merasa tidak terlalu terdampar.

*

Kita & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang