26

2K 256 19
                                    

Syana muak. Benar-benar muak dengan tingkah Raga yang semakin berlebihan menanggapi pendapat warganet di sosial media. Bahkan Syana seperti tidak lagi mengenali siapa pria yang saat sedang murung ini hanya karena ia telah kalah saat sparing melawan Kafka-Arya yang notabene sudah berlatih bersamanya sejak kecil. Tentu ini sudah entah keberapa ratus kalinya ia dikalahkan mereka saat sparing. Demi tuhan ini bahkan hanya latihan. Bukan pertandingan yang sebenarnya.

Kafka, Arya dan Ryan adalah sasaran Raga untuk ia paksa diajak berlatih hingga larut malam. Padahal besok Kafka-Arya harus bertanding jam sembilan pagi. Apa boleh buat, Raga dan keras kepalanya akan selalu menjadi pemenang.

" Padahal gue tuh...." Bla bla bla. Entah apa saja yang sejak tadi Raga keluhkan tentang permainannya.

Seandainya isi dari cerita ini adalah versi Raga saat sedang waras tentu Syana akan dengan senang hati mendengarkan meski itu hal konyol tidak berguna sekalipun. Bukan justru keluhan dengan segala kerunyaman Raga yang merendahkan dirinya sendiri. Apa salahnya sesekali kalah. Bukankah itu normal. Mengapa Raga memilih untuk mengejar kesempurnaan seolah dirinya superior yang tidak boleh mengalami penurunan. Memilih mengambil hati kicauan berisik orang di luar sana padahal ada Syana yang katanya paling penting bagi hidupnya sedang di sini mendukungnya. Hidup, bernapas dan tidak sudi menuntut apapun selain menginginkan Raga tetap baik-baik saja.

" Mas, you have to stop this now." Potong Syana jengah. " Kamu mulai berlebihan. Ini tuh cuma sparing. Seharusnya sekarang kamu lagi istirahat untuk persiapan pertandingan kamu yang sebenarnya besok. Bukan malah di sini sibuk merendahkan diri kamu sendiri."

Mata Raga memicing tidak senang. 
" Bisa nggak sih sekali aja lo kepikiran kalo sesuatu tuh kadang nggak selalu sesederhana yang ada di kepala lo."

" Terus kamu maunya aku gimana? Ikut nyalahin kamu? Aku aja nggak tau kenapa kamu tiba-tiba begini."

" Gue emang nggak begini biasanya. Karena biasanya gue selalu unggul, selalu terbaik, selalu di urutan teratas dan nggak ada celah untuk orang lain bisa ngerendahin gue. Biasanya orang-orang komentar sinis ke gue karena mereka nggak suka gue tapi nggak bisa mungkiri kalau gue memang yang terhebat. Sekarang lo bisa lihat sendiri gimana orang-orang ngomongin gue."

Mulut Syana membuka, kali ini kembali menutup setelah tidak menemukan kalimat apapun yang mampu diucapkannya. Lupakan semua arogansi berbalut kepercayaan diri Raga yang selama ini ia tampilkan. Hilang tak bersisa.

Sejenak egonya sempat tergoda untuk meladeni adu argumen ini, namun harus ia urungkan. Pria ini masih membutuhkan kewarasannya untuk pertandingan besok di babak perempat final. Raga harus menang. Setidaknya untuk kali ini. Supaya pria ini tau bahwa dirinya masih yang terbaik, masih mampu dan amat layak berada di urutan teratas.

" Aku nyusul kamu kesini bukan untuk ribut." Cetus Syana berusaha sabar.

" Siapa juga yang cari ribut. Kamu yang nggak bisa ngerti perasaan aku."

" Loh kok jadi aku yang salah?"

" Aku nggak nyalahin kamu. Tapi aku kira kamu akan bisa menenangkan aku di situasi kayak gini. Bukannya malah makin bikin aku sakit hati karena ternyata kamu sama sekali nggak menganggap serius situasi aku sekarang."

" Apapun situasi kamu, semuanya selalu serius bagi aku. Aku cuma nggak suka lihat kamu yang jadi merasa rendah diri begini."

Syana terlonjak saat kemudian Raga menggebrak meja yang memisahkan mereka sembari bangkit berdiri.
" Alah udahlah. Gue capek ngomong sama lo nggak ada gunanya."

Perempuan itu menghela napas lelah, ia memutuskan mengalah. " Oke, aku minta maaf kalau respon aku jauh nggak seperti yang kamu mau. Sekarang kamu duduk lagi kita obrolin lagi gimana enaknya."

Fit Perfectly Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang