[Sebelas] Obrolan Sahur Bersama Taya

1.8K 221 6
                                    

"Ayah, kenapa puasa olang-olang?"

Matahari belum terbit dan Taya sudah mulai dengan pertanyaannya. Byakta sendiri masih belum bisa berpikir jernih. Masih mengumpulkan nyawa. Tetapi Taya sudah ceria, tidak ada sisa kantuk sama sekali. Padahal semalam ia tidur sangat larut, itu juga setelah di bacakan buku mengenai spesies kelelawar.

"Puasa itu perintah Allah, wajib hukumnya berpuasa bagi umat yang sudah memenuhi kriteria.

"Sholat juga, puasa juga, semua juga?" ia merentangkan tangan mejelaskan kata 'semua'.

"Iya semuanya, Abang makanya mulai belajar puasa yah."

"Allah ndak sayang, kan ndak maam. Lapal kan Mama?"

Bocah gembul itu mencari dukungan. Mamanya akan memberikan jawaban yang membuat putranya itu senang, terkdang juga yang tidak memberikan respon mendukung.

"Sayang dong Bang. Allah itu sayang sama hambanya, makanya Allah kasih perintah untuk puasa dan ibadah lainnya ."

Byakta berusaha menjelaskan kepada putranya dengan sederhana. Masih pagi sudah disuruh mikir. Benar-benar yah Taya, berasa ujian terus dalam hidup. Ada aja soalnya.

"Kenapa bilang Allah nggak sayang?" tanya Baheera penasaran, mungkin ada alasan yang masuk akal dari isi kepala bocah gembul itu.

"Itu kan suluh puasa, ndak maam, ndak minum loh. Haus telus kan, terlus lapal. Mama, Ayah ndak lapal?"

Terdengar serius sekali bocah itu menjelaskan pemahamannya, tidak salah sih mengenai pemahaman bocah gembul seperti itu. Namun Baheera dan Byakta selaku orangtua harus menjelaskan makna puasa yang sebenarnya.

Sejujurnya Taya sudah mau mencoba saja puasa walaupun beberapa jam sudah lumayan.

"Kalau sudah besar nggak lapar kok Bang."

 "Begini Nak, Allah itu memerintahkan kita puasa agar kita bersyukur. Ada orang diluar sana yang tidak bisa makan, tidak bisa minum seperti Taya. Nah, ini salah satu cara Allah agar kita bisa memahami orang lain dan terus bersyukur."

"Tapi Ayah, ndak maam nanti mati."

"Nggak kok, bagus malah kalau puasa. Bisa bikin sehat."

"Ndak maam loh, nanti Mama malah ndak maam. Sakit kan Mama?"

Sejauh ini pemahaman Taya mengenai puasa adalah perintah Allah, dan tidak makan dan minum sampai magrib. Pemahaman lainnya mungkin akan seiringnya waktu, perlahan Taya akan memahami itu semua.

"Bukan begitu Bang, kan kalau lagi puasa nggak apa-apa. Kan sakit kalau Abang nggak makan dari pagi lalu main air."

"Ndak sakit, Taya puasa ampe maglib boleh."

"Boleh kalau Abang kuat, tapi sekarang tidak apa-apa kalau puasanya sebentar."

Byakta menghibur putranya, membesarkan hatinya agar merasa senang dengan ibadah sejak dini. Jangan memaksa, beri contoh yang baik.

"Setan puasa ndak Ayah?"

Eh apa?

Sejak kapan setan puasa.

Tapi apakah setan puasa?

Baheera dan Byakta saling melirik, memikirkan bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan putranya. Takut salah. Mereka harus banyak belajar lagi agar bisa memberikan informasi yang benar kepada putranya.

"Setan itu bangsa Jin yang tidak taat kepada Allah. Umm tentu saja kalau tidak taat berarti tidak mengikuti perintah Allah, tidak puasa Bang."

"Olang ndak puasa teman setan?"

Kedua orang dewasa itu meringgis pasrah. Ini pertanyaannya berpotensi memiliki jawaban yang panjang, tapi tidak mungkin menjelaskan secara panjang lebar, belum tentu Taya memahaminya.

"Tidak semua orang yang tidak puasa itu teman setan. Ada yang tidak puasa karena sakit. Allah kasih kemudahan Bang."

"Kok ndak teman setan, kan ndak puasa."

"Bukan teman setan nak." jelas Byakta, serta harus memperbanyak stok sabar,.

"Ndak, itu teman setan." Ngototnya tak mau diberitahu orangtuanya.

Ramadhan with NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang