[Dua Puluh Empat] Persiapan Mudik Bersama Taya

1.3K 221 8
                                    

"Abang bawa apa saja emangnya?"

Byakta heran melihat koper milik putranya. Hampir semua mainan miliknya masuk ke dalam sana.

Tidak ada baju, celana atau kebutuhan lainnya. Hanya mainannya saja.

Tentu saja ini akan di keluarkan lagi oleh mamanya. Taya tak tahu saja itu.

"Bawa Dino banyak banyak Ayah. Kasih lihat Ama sama Ami sana. Jauh..." Taya tetap sibuk dengan kegiatannya. Tak peduli dengan ayahnya yang menyiapkan pakaian miliknya.

"Abang tahu mau ke mana?"

Byakta sejujurnya merasa mellow, istri dan anaknya berangkat lebih dulu. Ia mendapatkan cuti di akhir minggu, namun Baheera dan sudah merindukan keluarganya memutuskan berangkat terlebih dahulu bersama putra gembulnya ini.

Taya lumayan koperatif sejauh ini kalau diajak bepergian.
"Tahu Ayah, mau pelgi Malang sana.  Taya mau naik ailplane, atas awan kan?"

Taya sangat antusias ketika orangtuanya memberitahu jika mereka pulag ke Malang menggunakan pesawat.

"Iya, perginya nain pesawat yah."

Byakta melihat-lihat lagi baju bawaannya Taya, lumayan banyak yah. Wah bocah gembul ini akan sering ganti baju karena basah, kotor, berkeringat, dan masih banyak alasan lainnya. Bisa 3 sampai 4 kali dalam sehari.

Mantap.

"Abang ini mainannya keluarin dulu dari koper, Ayah bantu packing baju dulu." Rasanya ingin menghela napas, Taya membuat ayah dan mamanya bekerja dua kali lipat.

Sebelum seluruh isi mainannya disimpan disana Byakta harus bisa mencegah obsesi putranya akan mainan miliknya itu.

"Mau bawa Malang Ayah." tolaknya tak terima.

"Masukin baju Abang dulu baru yang lain."

"Ndak baju Ayah." pekiknya tak terima.

Taya menghalangi ayahnya mengeluarkan mainan dari koper.

Bagaimana caranya Byata membantu packing jika putranya seperti ini.

"Abang nggak mau pakai baju?"

"Pakai kok."

"Terus bajunya simpan dimana?"

Byakta tak boleh putus asa dengan negosiasi ini. Bisa aja Byakta atau Baheera memaksa putra gembulnya itu, namun efek sampingnya nanti secara psikologis tidaklah bagus.

Taya tidak akan bisa menyampaikan emosi dan perasaannya dengan baik jika mereka sebagai orangtua bersikap otoriter dan memaksakan kehendak.

Taya sudah bisa diajak berdiskusi dan ditanyai keinginannya. Sudah bisa juga diberi pengertian walaupun membutuhkan waktu yang lama.

"Simpan kopel Taya. Dino Taya Ayah?"

Bocah gembul itu bimbang, ia melirik tumpukan pakaiannya lalu mainannya yang sudah mengisi seluruh koper.

Aduh nanti tidak punya baju Taya.

"Kita keluarin dulu yah, nanti kita susun yang rapi mainannya." Bujuk Byakta manis.

Harus bersikap manis nih kalau lagi bujuk membujuk begini.

"Kelual semua punya Taya?" tanyanya dilema.

"Iya, nanti kita susun lagi yang rapi."

"Malang sana ada Dino ndak?"

"Umm nggak ada Bang. Tapi katanya Abang mau main sama Ayam disana yah sana Ama?"

"Ada ikan?"

"Ada kok, Ama ada kolam ikan, bisa mancing."

"Bawa Dino tapinya."

Entah bagaimana awal ceritanya, setiap bepergian bocah gembul ini akan membawa mainannya.

"Boleh, sini bantu Ayah masukin baju dulu. Abang mau mudik ini."

"Mudik apa?"

"Pulang ke rumah Ama dan Ami di Malang."

"Ayah mudik ndak?"

"Iya dong, nanti Ayah menyusul yah. Ayah belum bisa cuti."

"Taya sama Mama sana, Ayah ndak ikut." simpulnya salah paham.

"Ikut kok, tapi nanti Ayah jemput." Sepertinya bocah gembul ini belum mengerti arti kata susul atau menyusul.

"Naik ailplane juga?"

"Iya Bang, sini bajunya yang itu Nak."

"Taya jugaaa, sama Mama..."

Kegiatan persiapan itu tak lama, yang lama adalah negosiasi kepada putranya agar tak perlu memindahkan seluruh isi rumah mereka ke Malang.

Ramadhan with NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang