IV

2.2K 309 12
                                    

---

Berjam-jam kemudian Sabda tidak kunjung datang. Cowok itu hanya mengirimkan pesan singkat kalau rapat yang sedang ia pimpin itu berlangsung alot dan semakin panjang.

Lana merasa bahwa Sabda tidak akan pulang hingga keesokan harinya. Cowok itu sedang serah terima jabatan dengan ketua BEM fakultasnya yang baru.

Karena itu juga ia akhirnya meminta bantuan Wira untuk menghubungi Bara karena anak sahabat ayahnya itu mungkin akan menginap di kamarnya malam ini.

Karena biasanya jika sahabat-sahabatnya itu menginap, mereka akan tidur di kamar Levy sekarang justru ia yang harus pindah ke kamar kakak laki-lakinya itu.

Lagipula Levy saat ini sedang di luar kota bersama partner bisnisnya, Daniel yang juga adalah sepupu mereka dari pihak ayahnya. Daniel sebenarnya lebih muda dua tahun dari Levy dan dua tahun lebih tua dari Lana sendiri.

Jika mendengar cerita Clara, Daniel persis seperti bapak dan ibunya yang jail yang juga merupakan sahabat Clara, Leon dan Tari.

Sudah hampir dua jam berdiam diri di kasur Levy, Lana kembali bangun dan menatap ke arah meja kerja Levy yang tampak sangat rapi. Berbanding terbalik dengan dirinya, Levy tipikal anak yang rapi dan mampu mengurus dirinya sendiri. Dulu jika sedang kumpul keluarga besar, Lana sering mendengar orang-orang memuji kakaknya itu.

Semua orang selalu bangga melihat pencapaian Levy. Mereka selalu beranggapan Levy adalah sosok sempurna yang merupakan gabungan antara Lexander Wirajaya yang cemerlang dengan Clara Monatrium yang hebat. Benar-benar perpaduan sempurna dan lahirnya Levy Wirajaya.

Lana juga selalu dipuji tapi hanya sebatas fisik yang bagus. Ia mendapatkan postur tinggi ayahnya namun juga mendapatkan kelembutan wajah ibunya. Rambutnya yang bergelombang, kulitnya yang seputih susu benar-benar mirip dengan Clara. Tapi hidungnya yang bangir, matanya yang tajam, dan bibirnya yang merekah adalah warisan Wira.

Tapi selain itu tidak pernah ada yang memuji dia seperti kehebatan Levy. Tidak ada yang mengakui dirinya hebat seperti kehebatan kedua orang tuanya.

Dan hal itu lambat laun mulai tertanam dalam diri Lana. Ia harus pintar di sekolah biar ia tidak hanya dilihat sebagai anak yang cantik. Ia harus bisa lulus tepat waktu biar ia bisa dibilang pintar seperti kakaknya.

Ia juga ingin diakui hebat.

Dulu sekali sewaktu kecil, kegemarannya pada perkayuan dan seni rupa membuatnya diledek teman-teman. Sepupunya Lily sangat hebat dalam seni musik. Gadis itu bahkan bertransformasi menjadi penyanyi hebat sekarang.

Karena Levy sangat senang menggambar dan berbakat dalam hal itu, Lana juga mulai ikutan tapi yang ia lakukan hanya untuk bersenang-senang. Jika Levy menang banyak perlombaan, Lana bahkan tidak pernah ikut serta.

Dalam semua kegalauan semasa kecil itu, Sabda dan Joshua hadir dihidupnya dalam wujud sebagai anak dari sahabat ayahnya. Kedua cowok itu lalu mengajaknya bermain hingga lupa waktu. Kedua cowok itu memperlakukannya bukan hanya sebagai perempuan cantik tapi juga sebagai teman yang hebat.

Dari keduanya Lana bisa menjadi percaya diri. Mereka lalu tumbuh bersama. Lambat laun jalan yang dipilih ketiganya mulai menemui persimpangan.

Joshua menjadi gemar fotografi dan justru sangat berbakat dalam hal itu. Sabda yang memang social butterfly menjadi sangat sibuk dengan banyak kegiatan. Lana kadang sering tersesat sendirian.

Sebelum pikiran-pikiran buruk kembali memenuhi kepalanya, Lana lalu bangkit berdiri dan membuka pintu balkon. Setelah memejamkan mata dan menghirup udara malam, ia tidak bisa menyembunyikan kekagetan ketika matanya kembali menemukan sesuatu yang aneh.

Awalnya ia bergirik takut mengingat pembicaraan dengan Levy tempo hari. Namun perlahan yang dipicu penasaran, yang ia lihat sekarang bukanlah seperti yang dituturkan oleh kakaknya itu.

Di bangunan belakang rumahnya kembali ia lihat bayangan hitam dengan cahaya temaram. Untuk meyakinkan dirinya, Lana mengucek mata sebelum kembali menatap dengan lekat.

Ia tidak salah lihat, bayangan yang ia lihat benar-benar bayangan seseorang yang tampak gusar dan mondar-mandir di sana. Lana yakin sekali ayahnya hampir tidak pernah ke tempat itu kecuali untuk menaruh sesuatu atau jika membantunya membersihkan tempat itu.

Karena yakin bahwa itu adalah seseorang, Lana lalu mengambil ponselnya dan segera menuju bangunan itu. Karena malam yang sudah sangat larut, Lana harus berjinjit agar tidak membangunkan siapapun.

Dengan menahan napas, gadis itu membuka pintu dengan pelan untuk meminimkan suaranya. Dengan bantuan cahaya yang minim, Lana meraih sebuah balok kayu yang ringan untuk menjadi perlindungan dirinya.

Setelah berada dalam bangunan dan menatap sekitar, Lana tidak menemukan siapapun. Cahaya yang tadi ia lihat juga menghilang begitu saja. Dengan cemas, ia lalu menghidupkan flash ponselnya dan menatap sekitar.

Tubuhnya langsung meremang menatap sekitar. Matanya benar-benar tidak menemukan siapapun. Percakapan dengan Levy kembali menghantuinya. Yang ia lihat mungkin memang penghuni tempat ini.

Tangannya yang gemetar lalu menjatuhkan balok.

"Mungkin emang bukan manusia."gumamnya."Gue harus telfon papa,"

Karena kakinya yang gemetar dan tidak mampu bergerak, Lana lalu berusaha menghubungi ayahnya.

Namun secepat kilat, tubuhnya dipeluk dari belakang. Satu lengan kekar melingkari bahunya sedangkan tangan yang lain membekap mulutnya dengan erat.

Karena terkejut, ponsel Lana terjatuh dan mati seketika berikut dengan cahaya yang dikeluarkan benda pipih itu.

"Jangan hubungi siapapun!"

Bisikan itu pelan, dalam dan terasa menakutkan. Lana tidak bisa menjawab namun tubuhnya bergetar hebat.

"Gue cuman numpang tidur,"

Laki-laki yang berdiri dibelakangnya ini mungkin lebih tinggi darinya. Laki-laki menunduk untuk berbisik padanya.

"Kalo lo gak teriak dan lakuin aneh-aneh, gue bakal lepasin."

Lana langsung mengangguk cepat. Setelah kurungan itu dilepas, Lana berlari sekuat mungkin namun hanya beberapa detik sebelum tubuhnya kembali diraih dan dipeluk erat. Kali ini terasa lebih menyakitkan.

"Gue gak akan nyakitin kalo lo mau nurut. Gue cuman butuh tempat buat tidur,"

Kepala Lana langsung pusing. Ia lalu memikirkan cara bagaimana ia bisa terbebas dalam situasi ini.

Selagi ia hanya diam, Lana sampai tidak sadar bahwa kini tangannya sudah terikat sebuah kain di belakang tubuhnya. Mulutnya pun kini sedang disumpal dengan sebuah tangan dan tercium samar sebuah wangi yang menenangkan.

Semua pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya, jangan-jangan ia sedang dibius dan akan diculik setelah ini.

Tubuhnya lalu digeret menuju sudut ruangan. Diantara tumpukan kayu dan barang-barang yang tidak terpakai, Laki-laki itu menjatuhkan diri bersamaan dengan Lana yang berada di hadapannya.

Dengan posisi yang teramat dekat dan melekat seperti ini tentu membuat Lana tidak nyaman. Ia duduk tepat didapan cowok itu dengan punggung dipaksa bersandar.

"Dua jam. Gue cuman butuh dua jam,"

Lana tidak mengangguk dan tidak menggeleng. Ia tahu ia tidak punya pilihan selain hanya diam apalagi ketika lengan kekar itu melingkari tubuhnya. Lana hanya takut jika ia bertindak sebuah pisau atau benda tajam lainnya akan muncul dan itu lebih membahayakan.

Jika laki-laki yang kini ada di belakangnya ini memang hanya butuh dua jam, Lana akan membiarkannya lolos.

Hanya kali ini.

---

Hallo, selamat berkenalan dengan Lana yang hidupnya mulai berwarna wkwk

Love

--aku

From Here to Mars [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang