XX

1.7K 264 15
                                    

---
Setelah ditatar oleh Wira dan Levy, Sabda melangkahkan kaki menuju kamar Lana dengan langkah pelan. Berhati-hati menuju gadis yang kini duduk menatap jendela kamarnya yang terbuka.

Lana menoleh ketika laki-laki itu duduk bersimpuh didepannya, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dan tatapan itu belum pernah dilihat Lana sebelumnya.

"Maaf ya?"

Suara Sabda terdengar lebih lembut. Jemari cowok itu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Genggaman yang entah kenapa tidak lagi membuat Lana merasa aman.

"Tadi gue reflek karna liat cowok itu lagi. Gue gak suka dia berada di sekitar lo dan--"

Lana menarik tangannya dan melarikan tatapan dari mata Sabda yang menatapnya penuh tanya.

"Lo marah karna gue cium atau marah karna gue pukul bajingan itu?"

Pertanyaan yang sinis itu membuat Lana menatap Sabda tidak suka.

"Dia bukan bajingan,"

Sabda mendengus dan berdecak kesal.

"Bertahun-tahun lo kayak mayat hidup cuman nunggu cowok itu keluar dari penjara. Bertahun-tahun lo menolak semua lengan yang mau meluk lo tapi fokus lo cuman berharap dicari sama cowok yang jelas-jelas cuman memanfaatkan kebaikan lo dan bikin lo banyak masalah. Kalo bukan bajingan, apa yang lebih cocok buat dia? Anjing?!"

Bagaimana kasarnya setiap kalimat yang keluar dari mulut Sabda membuat Lana mengernyit tak suka.

"Lo gak berhak--"

Sabda langsung bangkit. "Siapa yang jemput dan meluk lo selama ini? Siapa yang hapus air mata lo dan bikin lo seneng lagi selama ini? Siapa yang selalu ada kalo lo butuh sesuatu? Siapa--"

Lana juga ikut bangkit. Air mata kembali mengalir dari sudut matanya dan menatap Sabda dengan berang.

"Keluar."

Cowok itu menatap Lana terkejut. "Lo ngusir gue?"

Lana mengangguk. Ia menghapus kasar air yang mengalir di pipinya.

"Lo ngusir gue karna cowok bajingan itu?"

"Dia bukan bajingan. Lo gak tahu apa-apa soal dia!"

Sabda tergelak. "Pengedar, pembunuh, mantan napi. Apa yang lebih baik dari dia yang bikin lo segininya?!"

Semua ucapan Sabda memang benar. Lana juga sadar akan hal itu. Tidak ada sesuatu yang baik yang bisa disematkan di belakang nama Ray.

"Gue yang ada selama ini, Na. Gue yang--"

"As a friend! Lo sahabat terbaik gue. Gitu juga Joshua."

"Sahabat?"

Cara Sabda mengucapkan itu membuat Lana bergetar. Jika hanya Lana yang menganggap mereka bersahabat selama ini, bukankah itu berarti ia sudah dikhianati?

"Seumur hidup. Kita bertiga selalu bareng. Kita bertiga selalu kemana-mana bareng. Gue tahu semua cewek-cewek yang kalian pacarin, gue temenin kalian pasca putus. Gue tahu gimana lo putus dan--"

"KARENA LO, LANA WIRAJAYA!"

Suara yang meninggi itu mengejutkan Lana, tetapi kalimat yang diucapkan Sabda jauh lebih membuatnya pias.

"Semua karena lo, Na. Cewek-cewek itu cuman pelarian gue. Mereka gak berarti apa-apa. Sejak dulu cuman ada lo, Na. Cuman ada lo di hati gue."

Pengakuan Sabda luruh bersama tubuhnya yang jatuh dan terduduk di lantai.

Untuk pertama kalinya juga sebuah perasaan asing menyelinap masuk kedalam dada Lana. Hatinya nyeri melihat bagaimana Sabda menjatuhkan diri dihadapannya.

From Here to Mars [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang