XIII

1.6K 256 8
                                    

---

Setelah mengambil uang tunai secukupnya, Lana kembali dengan membeli obat merah dan kapas serta sekotak roti dan air mineral.

Mars yang duduk di bangku panjang menghadap rel kereta tampak meringis menahan sakit.

"Thank you,"

Lana mengangguk kecil. Tangannya membantu cowok itu untuk makan dan minum.

"Kenapa Jogja?"

Pertanyaan itu membuat Lana meringis kecil. "Di sana ada rumah mamaku. Kosong dan jauh dari sini. Kita gak akan ketahuan."

"Kamu gak harus melakukan ini, Na."

Lana menggeleng kecil.

Tidak sampai satu jam kemudian, kereta yang akan mereka tumpangi datang dan siap berangkat. Dengan langkah yang tidak lagi ragu, keduanya melangkah dan menuju kursi di gerbong yang sudah mereka pesan.

Dalam perjalanan yang hampir memakan waktu sembilan jam itu, Lana tidak tidur sama sekali. Berkali-kali gadis itu menghela napas panjang dan menatap jendela yang menampikan berbagai macam pemandangan.

Mars yang sadar akan hal itu meraih jemari Lana dan menggenggamnya erat.

"Maaf kamu jadi terseret seperti ini,"

Gadis itu menoleh.

"Mama kamu?"

Cowok itu menggeleng pelan. "Selagi masih di rumah sakit dia bakal aman,"

Lana mengangguk.

"Mamamu bule?"

Mars tersenyum kecil lalu menggeleng. "Bukan. Papaku yang belanda. Mamaku asli indonesia."

Jadi dari sanalah semua gen yang ada pada Mars. Selain rambutnya yang hitam legam, Mars seperti bule nyasar yang tidak punya tempat pulang.

"Kamu bisa bahasa belanda?"

Cowok itu kembali menggeleng. "Gak ada alasan untuk aku harus belajar bahasa belanda. Toh tidak ada orang yang mau aku ajak ngobrol juga,"

"Papamu?"

"Aku masih sangat kecil waktu itu. Aku bahkan gak ingat wajahnya seperti apa,"

Lana lalu menyandarkan kepala pada bahu Mars sembari tetap menggenggam tangannya.

"I'm sorry,"

Cowok itu tersenyum.

"Na, cepat atau lambat kita harus bahas ini. Kamu gak bisa sama aku selamanya. Kamu gak akan bisa hidup dalam pelarian seperti ini."

Lana tidak bisa tidak tersinggung.

"Dengerin aku dulu."

Tangannya digenggam dan dielus dengan lembut membuat Lana kembali diam mendengarkan.

"Keluargamu utuh. Kamu punya orang tua hebat dan luar biasa baik. Tidak ada yang kurang satupun dari mereka. Masa depanmu sangat cerah, Na. Aku gak mungkin merenggut itu semua hanya karena pertemuan singkat kita."

Lana melepaskan genggamannya. Gadis itu beringsut menjauh dan menatap pada matahari yang mulai menghilang dari balik jendela.

"Kenapa kamu datang ke rumahku? Kenapa kamu kembali malam itu? Kenapa kamu bikin patung merpati itu?"

Pertanyaan itu membuat keduanya tercekat. Mars tidak memprediksi hal ini. Mars hanya benar-benar butuh tempat untuk bersembunyi tiap malam. Siapa sangka jika pertemuan singkat mereka melahirkan pembicaraan dalam dan menyakitkan?

"Kenapa kamu dengar semua ceritaku seolah-olah kamu mengerti semua itu?"

Mars tidak menemukan jawab.

"Kenapa kamu dongengin aku soal kancil dan ayam yang menyedihkan itu?"

Cowok itu langsung kehilangan akal.

"Kenapa kamu membiarkan aku menginap di tempat pelacur alih-alih memaksa aku pulang malam itu?"

---

Rumah itu masih tampak seperti terakhir ia kunjungi. Mamanya, Clara memang tidak berniat menjual rumah itu. Selain alasan sentimentil akan seluruh kenangan yang ada di sana, Pamannya Cakka juga tidak pernah mengizinkan untuk menjual.

Karenanya kadang jika sedang lelah dengan Jakarta, mereka suka menghabiskan waktu disini.

Dengan taman yang berada di hadapan dengan pagar setinggi pinggang, rumah itu terawat baik. Papanya bahkan membayar beberapa orang utuk mengecek kondisi rumah dan merawatnya tiap bulan.

Setelah mendapatkan kunci dari penjaga rumah dan mewanti-wanti untuk tidak memberitahukan pada orang tuanya, Lana mengajak Mars masuk dan memastikan bahwa mereka bisa tinggal di sana untuk sementara waktu.

Setelah menunjukkan kamar Cakka yang bisa cowok itu gunakan, Lana lalu masuk ke kamar mamanya dan memilih membersihkan diri dan berganti pakaian karena memang selalu ada pakaian yang tertinggal jika mereka dari sana.

Hingga malam yang semakin larut, Lana memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Suasana hatinya tidak kunjung membaik sejak pembicaraan terakhir dengan Mars.

Lana merasa marah karena seluruh usahanya tidak diterima dengan baik oleh cowok itu. Bahkan Lana merasa bahwa Mars sudah mengusirnya dengan amat kejam.

Pintu kamarnya lalu diketuk beberapa kali. Namun Lana memutuskan untuk pura-pura tidur.

"Na, kamu gak mau makan?"

Lana masih diam. Tidak berapa lama pintunya kembali diketuk kali ini lebih pelan.

"Kamu udah tidur?"

Lana tetap diam hingga akhirnya pintu terbuka dengan amat pelan.

Masih dengan memejamkan mata, Lana bisa merasakan selimutnya ditarik makin ke atas sehingga menutup tubuhnya dengan benar.

Lana lalu merasakan sentuhan lembut dari tangan kasar itu menyingkirkan beberapa rambut yang menutupi wajahnya. Sebelum akhirnya jemari itu mengusap pipinya dengan pelan.

"I'm sorry, sweetheart. Aku gak bermaksud bikin kamu sedih,"

Lana masih berusaha diam. Pipinya lalu dikecup pelan sebelum ia merasakan genggaman pada tangan kanannya.

"Aku gak mungkin menerima sebanyak ini tapi hanya akan membuat kamu menderita,"

Jemarinya lalu terbuka dan kini disentuhkan pada wajah laki-laki itu. Lana juga bisa merasakan telapak tangan kanannya dikecup berkali-kali.

"Bagaimana mungkin aku membuat gadis baik seperti kamu menderita hanya karna laki-laki seperti aku, Na?"

Hatinya langsung menghangat mendengar itu. Tidak pernah ada yang mengatakannya sebagai gadis baik selama ini. Tidak pernah ada yang memujinya seperti yang Mars lakukan selama ini.

Ia baru saja akan membuka mata ketika tangannya ditimpa kepala cowok itu.

"Apa pantas laki-laki seperti aku mencintai perempuan seperti kamu, Na?"

---

Aaaaaaa

Ga ngerti lagi deh🥺

Love

--aku

From Here to Mars [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang