13. senyum semangat

246 51 14
                                    

Ciri khas anak perantau yang ngekos rame-rame gini pasti ada aja paling enggak satu hari di antara 30 hari ramadhan mereka bangun telat.

Hari-hari ini kembali lagi di puasa hari ke 12, mereka akhirnya bangun telat dan gak sempat sahur. Tapi lumayan lah masih bisa minum susu, soalnya tinggal tuang aja.

Jadi di sinilah mereka semua yang tetap mau berjuang untuk sahur. Berkumpul di meja makan lantai 1.

"Guys.." Tristan memecah keheningan yang ada karena mereka semua lagi ngumpulin nyawa, masih kaget baru bangun.

Seluruh perhatian ke arah Tristan walau nggak ada yang nyahut.

"Kemungkinan gue bakal pindah dari kos." kata Tristan sambil melihat susu di gelas yang dia pegang. Tristan gak berani liat ke arah teman-temannya.

Setelah 5 detik hening, Sakala buka suara, "Kenapa? Dapat kos baru?" tanya Sakala.

"Nggak, cuma Mamah minta gue untuk pindah." jawab Tristan.

Yang lainnya gak menjawab bukan karena gak peduli. Tapi jujur mereka bingung gimana harus merespon keadaan ini. Jujur aja, mereka tau hari ini akan datang. Satu persatu dari mereka akan pergi. Mereka akan menuju ke stage lain dalam hidup mereka. Mereka akan berkembang. Tapi ternyata ketika ada saatnya tiba, cukup mengejutkan juga. Sedih juga.

Bahkan keheningan ini berlangsung lebih lama. Yang bisa mereka dengar cuma detik jarum jam.

"Kapan, Bang?" tanya Hazel.

"Belum tau. Mungkin setelah lebaran." jawab Tristan pelan.

Jujur ini bukan hal yang mudah juga untuk dia. Mungkin kalau dibandingkan yang lain, rasa sayang dia ke anak-anak ini paling besar. Baru di sini Tristan merasakan punya teman rasa saudara yang tulus sama dia. Banyak hal yang dia lakukan untuk pertama kalinya sama mereka. Liburan bareng walau akhirnya ada tragedi, sahur on the road, bagiin makanan ke orang-orang di jalan, makan di warteg dan hal gila lainnya yang sebelumnya gak pernah terbayangkan oleh Tristan. Susah juga buat dia. Gak mudah.

Tapi, mau gimanapun juga, keluarga adalah hal yang utama. Hal yang harus dia prioritaskan.

"Kalau boleh tau, kenapa pindah, Bang?" Gantian Kevin yang tanya.

"Permintaan orang tua. Kerjaan gue sekarang juga bakal banyak di daerah deket rumah dari pada deket sini. Makanya gue sering pulang ke rumah." kata Tristan.

"Bukan karena salah satu atau kita semua bikin lo kesel kan, Bang?" tanya Kevin lagi.

Tristan tersenyum sinis, "Kalau karena itu gue tinggal cabut aja, gak pakai pamit."

Sakala mengangguk paham, menepuk pelan punggung Tristan yang duduk di sebelahnya.

"Apapun keputusan lo, itu pasti yang terbaik. Lo masih bisa main ke sini, kita masih bisa jalan bareng. Kita masih keluarga." kata Sakala mencoba untuk membesarkan hati Tristan yang keliatan lagi sedih.

"Gue kok sedih ya, padahal masih satu daerah. Kayak ditinggal ke luar negeri aja." kata Yoga agak keras biar suasananya gak begitu mellow.

Sergio yang sudah denger ini saat mereka ngobrol di balkon lantai 2 tempo hari sama Jeje gak begitu kaget. Soalnya dia udah kaget di hari itu. Walaupun  Tristan bilang kalau dia juga sempat merasa diasingkan beberapa kali, kata Jeje bisa aja itu cuma perasaan bimbangnya Tristan karena dia sedang mencari alasan untuk bisa menentang Mamah atau engga. Karena sebelumnya pun memang semuanya bersikap demikian, tapi belakangan perasaan Tristan lebih sensitif aja.

"Kita boleh gak sih main ke rumah lo, Bang?" tanya Juna dari ujung meja makan dengan serius.

Tristan terkekeh geli, "ya boleh lah. Rumah gue kapan gak terbuka buat kalian."

"Lo gak pernah nyesel kan kenal kita, Bang?" tanya Anggara yang duduk di sebrang Tristan dengan rambut sangkar burungnya.

"Enggak lah. Pertanyaan lo ada-ada aja."

"Bang Angga jangan sedih dong kehilangan Tristan Finance nya gitu." Kata Adimas berusaha menghibur yang lain juga. Dan cukup terhibur karena pada ketawa. Sedangkan Anggara langsung melempar Adimas dengan tutup botol yang ada di depannya.

"lu kali," Kata Anggara.

"Bayar utang lu pada sama Tristan weh, numpuk aje." kata Gio ke anak-anak dengan muka serius. Padahal bercanda.

"Udah bayar gue. Mana pernah numpuk banyak." Protes Anggara gak terima.

"Tenang, Bang. Gue bayar ntar habis wisuda yak." Kata Adimas sambil nyengir.

Percakapan yang berawalan sedih itu ditutup dengan banyolan lagi sampai adzan subuh berkumandang. Walau sebenarnya banyolan itu bukanlah obat atas kesedihan mereka, setidaknya  suasananya gak bikin tambah mellow. Ini Naufal sama Eric belum tau aja.



***

Di hari terakhir sebelum libur panjang Jumat, Sabtu dan Minggu ini Anggara bekerja dengan penuh semangat. Walau seharian panas tapi rasanya seger aja. Soalnya Erisa bakal datang hari Jumat nanti.

Di sela jam istirahatnya setelah ibadah, Anggara rebahan di musholla sambil nyari tempat buka bareng yang bagus. Ya walau yang buka puasa dia doang, tapi kan Erisa nemenin juga boleh ya.

Dihitung-hitung sudah 3 bulan Anggara gak ketemu Erisa. Tapi rasanya udah kayak 3 tahun. Sebagai pejuang LDR yang handal, emang gak ada kendala besar sih yang mereka hadapin kecuali jam jaga Erisa yang biasanya gak sesuai sama jam kerja Anggara. Jadi paling pas Erisa lagi jaga malam yang gak banyak penanganan baru bisa telfonan sama Anggara. Mereka juga pengen ngerasain sleep call yang kayak anak muda jaman sekarang ini, tapi sayang hal itu susah diterapkan di mereka. Jadi paling kalau lagi sama-sama selo, bakal telfonan atau video call aja.

"Lo lagi bahagia ya?" Tanya Amel yang baru melepas mukena karena baru selesai sholat.

"Kenapa nanya gitu?" Anggara balik nanya sambil ngintip dari balik HPnya.

"Keliatan tau." Kata Amel sambil selonjoran karena mau istirahat dulu sebelum waktunya kembali ke meja teller.

"Iyaya?" Anggara terkekeh sambil megangin pipinya.

"Cewek lu mau datang nih kayaknya ya?" Tebak Amel lagi. Tepat sasaran.

"Lo kayak peramal deh, Mel."

Amel ketawa dengernya, "ya kan lo bilang LDR sama dia. Kalo karena THR kayaknya belum turun dah."

Anggara ketawa lagi, "iya, Mel. Besok cewek gue ke Jakarta. Nganterin adeknya sih. Ya walau cuma dua hari, lumayan bisa ketemu."

"Dua hari itu lumayan banget lah. Mau sehari juga lumayan. Pasti feel nya beda sama face time-an doang." Kata Amel serius.

"Bener, Mel. Walau kita gak pernah berantem masalah kangen-kangenan ya. Tapi tetep aja kangen tuh masalah banget." Kata Anggara setelah akhirnya duduk dan melipat kakinya ke depan dada.

"Kalian gak pernah marah? Apa cewek lo yang gaj pernah nunjukin kalau lagi marah?"

"Waduh, gak tau ya. Tapi selama ini emang dia tuh baik banget dah. Selalu nyoba buat paham kalau emang kita suka gak match waktu luangnya. Soalnya dia kan lagi koas nih."

"Oh, cewek lo dokter ya?"

Anggara ngangguk.

"Mungkin emang dianya sih yang pengertian. Tapi siapa tau aja ada yang dipendem karena gakau ribut."

"Ih iya kali ya.. ah lo mah bikin gue mikir." Kata Anggara panik

Amel ketawa, "bisa aja gue sotoy ya. Tapi gak papa kok. Kan gue cuma sok tau."

"Ah lu mah, Mel." Anggara masih merengek lucu banget.

"Heh, udah ah. Ayo balik dulu kerja." Kata Amel lalu bangun untuk bersiap kembali ke meja teller.

Sementara Anggara jadi kepikrian. Gimana kalau bener kaya-kata Amel? Ternyata banyak yang disembunyiin Erisa selama ini.

Sebelum kembali ke meja CS, Anggara mengirim pesan dulu untuk Erisa.















Anggara:
- Cher, love u xixixixi😂🥳✌🏻

***

2.0 HOME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang