"Emang Papa kemana, Pak?"
Setelah cukup terkejut dan sedikit kecewa mengetahui jika yang menjemputnya bukanlah sang papa melainkan tangan kanan atau orang kepercayaan papanya. Daniara kesal.
Daniara sedikit kesal namun juga penasaran kenapa papanya mengurungkan niat awalnya untuk menjemputya.
"Bapak Cakra sedang ada rapat mendadak, Mbak." jawab pak Herman.
Daniara mendengus kesal. Ia memalingkan wajahnya pada kaca di sampingnya, menatap jalanan yang ramai dengan pandangan yang entah kemana.
"Mau beli jajan dulu, Mbak?" tawar pak Herman.
Daniara menggeleng tanpa suara.
"Mbak?" panggil pak Herman kembali karena telinganya tidak merasa mendengar jawaban dari anak bosnya.
"Ish!" dengus Daniara. Gadis itu menatap pak Herman dengan kesal melalui kaca yang ada di depan. "Mbak, Mbak. Emang saya Mbak-Mbak pecel!" kesalnya. Pak Herman memang selalu memanggilnya dengan embel-embel mbak.
Pak Herman di depan tertawa. Ia tidak marah karena sikap dan perilaku Daniara yang sedikit kurang ajar. Ia malah merasa jika Daniara lucu, mirip seperti anaknya di rumah.
Dengan sedikit sisa tertawanya, pak Hermab berkata. "Maaf, Mbak. Abis Bapak selalu membahasakan diri jika memanggil Mbak Dania harus pake embel-embel Mbak. Jadi saya hanya ikutan saja."
"Papa ga pernah manggil saya pake kata Mbak. Bapak ngarang, aja."
"Mbak tanya saja sama yang lain nanti. Pasti jawabannya sama." menjeda. "Jadi, Mbak mau jajan apa langsung ke kantor Bapak?" kembali memastikan keputusan sang anak dari atasannya. Herman menunggu dengan sabar.
Daniara menggeleng. "Ga deh, mau langsung ke rumah aja bisa ga, Pak? Nia ngantuk soalnya."
"Tapi, Mbak. Bapak suruh saya antar Mbak ke kantor. Gimana, Mbak?"
Membuang napasnya perlahan, Daniara menjawab. "Ok. Tapi cepetan dikit ya, Pak. Ok, Pak?" Daniara memastikan.
Di depan pak Herman mengangguk dengan suara kecil yang mengatakan. "Siap, Mbak."
Daniara
Sampai di kantor papanya. Daniara langsung memasuki gudung ini setelah mengucapkan terima kasih pada pak Herman yang menjemputnya tadi. Gadis berseragam sekolah itu menjadi pusat perhatian namun ia tidak perduli. Dengan santai memasuki lift lalu menekan angka terakhir yang mana itu adalah lantai dimana ruangan papanya berada.
Lift terbuka. Kakinya di langkahkan keruangan yang ada di pojok lantai ini. Daniara membuka pintu secara perlahan sebab ia takut jika terlalu kasar akan membuat papanya marah seperti dua bulan lalu.
Daniara sempat di marahi habis-habisan karena membuka pintu terlalu kasar hingga tamu yang saat itu sedang membicarakan bisnis dengan papanya terkaget. Beruntung tidak terjadi apa-apa sebab tamu papanya saat itu mengidap penyakit jantung.
Jadi mulai detik itu Daniara berusaha sekalem mungkin jika di kantor papanya.
Daniara terdiam di depan pintu. Ia menatap papa dan seorang wanita seusia mamanya yang sedang duduk di pangkuan papanya. Senyum miringnya terukir. "Rapat katanya." gummanya pelan dapat di pastikan hanya dirinya saja yang tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya [Selesai]
Teen FictionSeries #9 Daniara *** Kehidupan yang enak serta segala sesuatu yang terturuti. Membuat hidup Daniara menjadi lebih indah dan terkesan hidup. Namun, jika dalam kehidupan ia menjadi anak yang paling beruntung, maka tidak dengan percintaannya yang sel...