Dua Puluh Sembila

83 9 0
                                    

Pukul lima pagi Diandra sudah di sibukan oleh pekerjaan dapur. Ia harus membuat sarapan untuk anak satu-satunya. Hal ini sudah ia terapkan sejak dulu bahkan sebelum keadaan berubah.

Diandra terkejut melihat anaknya yang sudah turun di pukul lima lewat dua puluh. Sembari menaruh wadah berisi nasi goreng di atas meja makan Diandra memperhatikan anaknya yang sedang berjalan ke arahnya dengan pakaian sekolah lengkap dengan tas dan juga ponsel yang sedang ia pegang.

"Pagi, Ma!" sapa Daniara bersemangat. Gadis itu asal duduk di kursi yang kosong.

Diandra terkekeh. "Pagi. Tumben jam segini udah turun?"

"Hehe, mau ada urusan di Osis, Ma."

Diandra kembali lagi ke dapur. Daniara memperhatikan mamanya dengan senyum. Semalam ia tidak tidur memikirkan kisah hidup mamanya yang teramat sulit.

Hidup mamanya begitu berantakan dari masih dalam kandungan hingga memiliki anak. Seperti yang semua keluarganya tau termaksud Daniara sendiri. Daniara di perlakukan dengan tidak baik oleh Lio sejak kecil hingga umurnya menginjak sembilan belas tahun.

Lalu, kehidupan percintaannya pun terguncang parah. Mulai dari keberadaan papanya yang di kamuflase. Tidak di sukai mertua karena kasta dan adanya wanita ketiga yang sangat di sayangkan.

"Hei, kok melamun?" Diandra datang kembali, membawa segelas susu hangat untuk anaknya lalu duduk di kursi berhadapan dengan Daniara.

Daniara menonggak, memberikan senyum manisnya kemudian menggeleng.

Daniara menerima piring pemberian Diandra yang sudah berisi nasi goreng serta ada dua naget dan satu telur mata sapi. Ini adalah sarapan favorit Daniara.

"Makasih, Ma." Diandra mengangguk. Wanita itu ikut mengambil nasi untuknya sendiri.

Sambil menyuap nasinya Daniara berkata. "Semalem gimana, Ma? Lancar?"

Diandra di depan mendengus tawa.

"Kok ketawa?" tanya Daniara bingung.

"Enggak." Diandra menjeda. "Mama heran aja sama kamu. Kok nanyanya santai banget. Emang kamu ga sedih kalo Mama sama Papa pisah?"

Mulutnya penuh. Daniara menelan nasinya dengsn cepat. "Kenapa harus sedih? Kan selama ini Papa ga jalanin kewajibannya sebagai seorang suami. Lagipun, kayanya Mama jauh lebih bahagia sendiri."

"Ga ada manusia yang bisa hidup sendiri, Sayang. Mama cuma menikmati apa yang sudah terjadi aja. Lagipun, seperti yang kamu bilang tadi, Mama udah terbiasa hidup tanpa Papa kamu."

Nasi di piringnya tinggal sedikit, ia menyuap lagi lalu menjawab. "Mama bisa menikah lagi kalo Mama mau."

Tawa Diandra pecah. Wanita beranak satu itu menggeleng-geleng heran. Anaknya ajaib sekali sampai bisa berpikir hal yang sama sekali tidak ia pikirkan.

"Mama ga ada pikiran buat nikah lagi. Mama mau urus kamu aja. Mau lihat kamu dewasa dan punya suami."

"Aku belom ketemu pangeran aku nih. Kemana ya, Ma  kira-kira." merasa cukup untuk topik ini, Daniara mengalihkan pembicaraan mereka.

"Nanti juga dateng sendiri." jawab Diandra dengan tenang.

Mereka diam. Daniara sibuk menghabiskan sarapannya sementara Diandra sudah kembali ke dapur.

Piring miliknya di dorong sedikit. Tangannya menggapai gelas susu yang sudah di siapkan oleh Diandra kemudian meminumnya.

Gelas di taruh.

"Ma, kok aku perhatiin, Mama sama Tante Sintiya beda, ya, akhir-akhir ini? Kayanya beberapa tahun lalu Mama sama Tante Sintiya masih suka ngemall bareng. Kenapa?"

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang