Dua Puluh Tiga

75 8 0
                                    

"Cepet. Ngapain diam!"

Dirga berseruh begitu tegas. Daniara geleng kepala. Ia tidak habis pikir jika Dirga akan melakukan hal ini padanya. Dengan rasa tidak terima, ia berbalik badan dan mulai menumpuk kursi plastik lebih dulu. Dirga masih diam memperhatikan Daniara yang dengan kesal menumpuk kursi hingga suara seseorang membuatnya menoleh.

"Udah, Dan. Biar gue aja."

Dava maju. Melirik Dirga kesal kemudian membantu Daniara menumpuk kursi-kursi itu. Tidak lama, anggota osis yang lainnya ikut membantu. Sonia, Mutiara dan Rosi juga meninggalkan pekerjaan mereka dan ikut membantu.

Semua bergerak terkecuali Dirga. Meja-meja di angkat olah siswa. Sedangkan kursi yang sedikit lebih ringan di angkat sedikit demi sedikit oleh Daniara dan teman-temannya.

Lima menit kemudian selesai. Lapangan bersih seperti sediakala atas kerja sama yang mereka bangun. Kertas-kertas pencoblosan yang sudah di gunting di pisahkan dengan yang belum.

Daniara memegang kertas yang masih belum di apa-apain sedangkan Sonia memegang yang sudah siap pakai. Teman-temannya berdiri di sisi lapangan sementara Daniara menghampiri Dirga yang masih diam mematung.

"Udah selesai. Gue balik." ucapnya tepat di depan wajah Dirga.

"Ohya..."

Daniara berbalik badan kembali. Menatap lurus mata hitam Dirga yang terbuka dengan lebar. Senyumnya terbit.

"Lo emang ngurus perizinan. Lo juga yang jalan buat nyewa tenda. Tapi, jangan lupain gue yang bikin surat izinnya, yang nyiapin ini itu dan lo, lo cuma tinggal tanda tangan dan jalan ke ruangan kepala sekolah buat minta tanda tangan beliau. Sisanya, gue yang urus," menjeda.

"Oiya, Rosi, Dava, Sonia, Mutia dan yang lainnya juga berperan. Tanpa mereka lo ga akan bisa koar-koar kaya gini. Inget, Dir. Lo bisa di jabatan sekarang itu berkat mereka. Jadi, ga usah ninggi kalo asal lo dari bawah."

Dirga menggeram. Kedua tangannya terkepal kuat, matanya menajam. Dirinya di permalukan di depan umum oleh seorang gadis di depannya.

Daniara pergi meninggalkan Dirga yang masih diam di lapangan. Ia berjalan meninggalkan lapangan di susul oleh teman-temannya yang lain.

Dava berbalik, menyorot teman sekelasnya. "Lo, keterlaluan sih." ucapnya lalu pergi kembali ke dalam kelas untuk mengambil tas.

Di dalam kelas, Daniara menatap tasnya yang sudah di rapihkan. Semua barang bawaannya pun sudah di masukan kedalam tas hitamnya. Senyumnya terbit, ini pasti ulah dua temannya. Sebelum mengucapkan terima kasih, Daniara memilih untuk memasukan kertas yang ia bawa tadi ke dalam tas miliknya.

Ponselnya di ambil, ia membuka aplikasi WhattAps lalu mencari grup chat yang mereka buat. Grup di temukan. Ia menulis ucapan terima kasih dan kembali menaruh ponselnya di dalam saku seragamnya.

Kakinya berjalan keluar kelas dengan santai. Ia masih kesal dengan ucapan dan tingkah Dirga tadi. Apa-apaan laki-laki itu? Membentaknya, menyuruhnya seenak hati dan hal itu di lakukan di depan banyak orang.

"Dia pikir, gue bakalan diem aja gitu? Dih, sorry ya!" gerutu Daniara.

Selama ini, ia berusaha tenang karena Dirga selalu menyuruhnya melakukan apapun sesuka hati. Tidak, hal ini terjadi di mulai dari empat bulan yang lalu. Empat bulan lalu Dirga mulai melakukannya seenak hati. Menyuruh itu dan ini tanpa tau waktu dan memperlakukan dirinya seperti budak.

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang