Delapan

85 9 0
                                    

"Kalo tau Nia bakalan marah, kenapa kamu kekeuh pergi?"

"Alya kecelakaan, Dian. Kamu ngertiin aku dong!"

"Ngertiin?" Diandra tertawa kecil. Ia menatap Cakra dengan pandangan lelah.

"Kamu ngertiin Nia, ga? Kamu tau perasaan Nia, ga? Kamu-"

"Aku tau, Dian. Makanya aku di sini. Aku mau ketemu Nia dan minta maaf sama dia. Aku ga mau Nia semakin benci aku. Aku-"

"Lebih baik kamu pergi aja. Nia kayanya ga mau ketemu kamu, Mas." Diandra berkata dengan tenang.

Cakra menggeleng. Ia memilih duduk di sofa menunggu anaknya turun dan menemuinya. Sementara Diandra memegang keningnya pening. Rasanya ia sudah putus asa jika berhadapan dengan Cakra. Wanita itu memilih duduk di sofa yang sama dengan Cakra namun ada jarak di antara mereka.

"Kamu pulang aja ke rumahmu. Biar besok Nia aku suruh ke kantor." putus Diandra lelah. Ia sudah muak melihat wajah Cakra.

Cakra menggeleng. Ia tetap pada pilihan yang pertama.

"Mas!" kesal. Akhirnya Diandra mengeluarkan amarahnya yang sejak tadi tertahan.

Matanya menatap Cakra tegas dan penuh kekecewaan. Cakra yang di tatap hanya diam tidak bersuara. Ia tau memang ini salahnya kerena lebih mementingkah wanita lain dari pada anaknya sendiri.

"Kamu pergi sekarang, atau aku panggil po-"

"Udah, Ma. Udah malem jangan teriak-teriak." suara Daniara muncul di antara amarah Diandra.

Gadis itu duduk di depan papa mamanya. Memutar pandang menatap guci besar yang ada di sisi ruangan ini.

"Papa ngapain mukul Pak Trisna?" pertanyaan ini tiba-tiba muncul. Daniara menatap papanya ingin tau.

"Papa... Papa cuma mau masuk. Tapi orang itu menghalangi Papa." jawab Cakra tanpa rasa bersalah.

"Oh." balasnya singkat. "Tante itu udah di obatin, Pa?"

Cakra dan Diandra spontan mentap Daniara tidak percaya. Nadanya begitu halus seakan tidak terjadi apa-apa saat menanyakan hal itu. Padahal sejatinya Diandra amat terluka dengan tingkah anaknya.

"Nia?"

"Kenapa?" tanya Daniara pada Cakra.

"Kamu ga marah?"

Daniara menggeleng menanggapi pertanyaan papanya. Bohong.

"Nia..." kini giliran Diandra yang kesal. Sudah jelas Daniara marah, tapi kenapa anaknya itu tidak mengatakan dengan jujur. Apa sebesar itu rasa sayang Daniara pada papanya?

Daniara tersenyum pada Diandra. "Nia ga marah, Ma. Nia cuma sedikit kecewa aja sama Papa. Tapi, tapi sekarang udah enggak kok. Kan, Papa di sini sekarang." jelas Daniara lagi bermaksud membuat Mamanya tenang.

Cakra tersenyum senang. Hatinya begitu terasa lega mendengar jawaban yang keluar dari bibir anaknya secara langsung.

"Maafin Papa, ya. Papa tadi harus ke rumah sakit."

Kembali memberikan anggukan. Daniara berdiri dari duduknya. "Nia naik dulu, ya. Ada tugas yang belum Nia kerjain." matanya menatap sang papa. "Papa kalo mau pergi langsung aja, ga perlu pamit." katanya pada Cakra. Menusuk.

"Mah, tolong suru Mbok Dira periksa pipinya Pak Trisna. Nia takut memarnya parah." pintanya pada sang mama.

Diandra mengangguk.

Setelah itu Daniara naik ke lantai dua meninggalkan mama dan papanya berdua di lantai bawah tanpa perduli apa yang akan terjadi pada mama dan papanya nanti.

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang