Enam Belas

65 8 0
                                    

"DANIARA!"

Semua terperanjat mendengar suara teriakan Cakra yang membara di tambah dengan gebrakan meja. Tubuh Alya sampai bergetar mendengar teriakan tersebut.

Sintiya yang sejak tadi diam, menunduk takut ketika suara teriakan Cakra mengudara. Wanita dua anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara sejak tadi. Hanya menggeleng dan melakukan gerakan tubuh saja.

"Ga usah teriak-teriak, Mas." Diandra angkat bicara. Ia yang memilih diam tidak akan lagi diam ketika anak semata wayangnya di perlakukan seperti itu.

Mata Cakra menyorot Diandra tajam. Napas pria itu naik turun tidak beraturan. Menandakan jika ia teramat kesal pada anaknya.

"Kamu, diam! Gini cara kamu mengajari anak? Kemana sopan santunnya? Ini hasil didikanmu? Ini hasil kerja kerasmu sebagai seorang Ibu? Anak tidak tau sopan santun ini yang kamu bilang akan membawamu kejalan yang sukses? Ini?!" rahang Cakra mengeras. "Sikap Nia seperti ini karena kamu terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan ana-"

"Hai! Tutup mulutmu." Diandra berdiri dari duduknya. Mengikuti Cakra yang juga tengah berdiri dengan kedua tangan yang bertumpuh pada meja.

"Jangan pernah menjelek-jelekan anak saya dengan mulut kotormu! Jangan pernah mengatakan hal yang buruk tentang Nia!" menjeda. "Kamu ga tau apa-apa tentang anak kamu. Kamu ga berhak bahas masalah pekerjaan sama saya. Setahun ini memang kamu memberi saya uang? Memberi Nia uang jajan, uang kebutuhannya? Uang perawatannya? Bahkan uang pembalutnya saja kamu tidak pernah memberikannya. Kamu sudah benar-benar lepas tanggung jawab, Cakra." Diandra mengambil napas.

"Kamu, sekali lagi saya tekankan. Tidak usah ikut campur urusan pekerjaan. Urus saja pekerjaan masing-masing. Kamu urus pekerjaanmu sendiri dan tidak usah ikut campur." napasnya terdengat kasar.

Diandra melirik Alya, Chiko, Irawan dan Tata secara bergantian. Lalu sedetik kemudian pandangan matanya fokus pada Cakra. "Jika saya mau, perusahaan kamu atau keluargamu sekalipun bisa saya gulung dengan sekali telepon." katanya jumawa.

Biarkan. Orang-orang seperti Cakra memang harus di kasih pengertian. Orang seperti Cakra tidak akan mengerti jika hanya berbicara melalui mulut.

Irawan, Tata, Chiko, dan Alya terdiam seribu bahas. Mereka melupakan satu fakta jika perusahaan milik Diandra jauh lebih tinggi di banding perusahaan keluarganya.

Diandra mengambil tas mewahnya yang sebelumnya di taruh di kursi kosong sebelahnya. Lebih tepatnya kursi yang menjadi penghalang antara dirinya dan juga Sintiya.

"Ma, Pa. Dian permisi pulang dulu." pamitnya diam di tempat.

Irawan dan Tata mengangguk. Tata beranjak dari duduknya. "Mama bawain rendang, ya, Dian?" tanya Tata berusaha mencari jalan aman.

Tapi Diandra acuh.

"Hari ini saya akan urus surat perceraian lagi. Jika kamu menyobek, membuang atau membakarnya lagi, akan saya pastikan semua kelakuan kamu dan dua wanita itu akan terbongkar bahkan sampai dunia maya." ucapkan penuh penekanan.

Cakra yang di ajak bicara diam bagai tidak memiliki suara. Ia hilang arah.

Diandra pergi meninggalkan Daniara yang masih duduk manis di tempatnya. Gadis remaja itu melirik mamanya sebentar kemudian memandang papanya penuh kekecewaan.

"Nia ga tau ada apa di balik semua ini. Nia ga tau kenapa semua bisa terjadi. Nia juga ga tau, masa lalu kalian seperti apa. Tapi satu yang Nia tau, Papa gagal menjadi seorang Ayah dan Suami dalam keluarga." bibirnya tertutup rapat cukup lama. Berat sekali untuk melanjutkan kalimatnya.

"Untuk kali ini, Nia benar-benar ingin memaki Papa dengan kalimat-kalimat yang tidak terpuji." matanya tersirat kepedihan yang mendalam sampai Dewa yang melihat ikut larut dalam keadaan.

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang