Dua Puluh Enam

75 8 0
                                    

Huft.

Napasnya terelah seiring tubuh yang ia sandarkan pada tepi ranjang miliknya. Matanya terpejam membiarkan wajahnya di terpa hawa AC yang sejuk.

Ia baru saja menyelesaikan tugas yang ia bawa. 150an lembar sudah berhasil ia gunting-gunting sehingga hasil yang di dapatkan menjadi kelipatan empat atau sekitar 600 lembar kotak kecil.

Sehabis izin, Daniara langsung mengerjakan tugas itu karena ia merasa jika nanti malam dirinya tidak akan sempat untuk melakukan pekerjaan ini. Bisa terbangkalai jika ia tidak mengerjakannya saat ini juga.

Tubuhnya tegak kembali, ia merapihkan kertas-kertas di hadapannya lalu di masukan ke dalam plastik hitam. Daniara meletakan plastik itu di atas meja belajar bersanding dengan ponselnya.

Ia duduk di kursi belajar, menatap bingkai di hadapannya dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang pada kejadian sore tadi. Ia amat beruntung karena di pertemukan dengan Wisnu sebagai penolongnya.

Andai tidak ada Wisnu, mungkin satu keluarga sedang sibuk mencarinya. Namun satu yang sangat amat di sayangkan. Ia berpikir jika penyelamatnya adalah Putra karena sejak awal tangannya di ikat, Daniara sudah terus menerus memanggil nama Putra di dalam hatinya.

Namun, sepertinya Tuhan punya jalan sendiri untuk menyelamatkan dirinya dan itu adalah hal yang selalu Daniara syukurkan.

Ponselnya berdering, nama Dirga terpampang dengan jelas di layar ponselnya. Daniara diam, ingatanya terbayang pada kejadian sore tadi di mana Dirga menyekapnya.

Keduanya tertunduk. Dirga menunduk setelah meneriaki Daniara dan Daniara menunduk karena ia mulai tau dimana letak kesalahannya.

"Dir, maaf." ucap Daniara tiba-tiba.

Dirga menonggak, memandang mata Daniara lekat. "Kenapa lo tega sama gue, Dan?"

"Gue, gue minta maaf Dirga."

Kedua tangan Dirga menyentuh kedua pundak Daniara, mencengkramnya kasar membuat Daniara kesakitan. "Sakit, Dir..."

"Sakit?" Dirga mendengus kesal. Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Sakit mana sama gue, Dan?" matanya teralih pada dinding. "Apa yang lo rasa sekarang jauh lebih ringan dari apa yang udah lo perbuat sama gue."

Kepala Daniara semakin tertunduk ketika mendengar ucapan Dirga.

"Penolakan lo empat bulan lalu masih terbayang di kepala gue, Dan. Bahkan kalimat yang lo pake aja gue masih inget." Dirga menatap Daniara kembali. "Gue ga bisa nerima cinta lo, Dir. Kita beda." katanya mengulang kalimat yang sama dengan apa yang di ucapkan Daniara empat bulan lalu.

"Kita emang beda, Dir. Gue ga mau jatuh terlalu dalam sama lo dan lupa kalo Tuhan kita beda. Gue ga bisa."

Sekarang gantian Dirga yang diam. Ia menatap Daniara dalam dengan pandangan yang sulit di jabarkan. Daniara menurunkan kedua tangan Dirga dari pundaknya, menggenggam masing-masing tangan dengan lembut.

"Gua tau, perilaku lo berubah karena gue. Gue tau semuanya, Dir. Tapi gue berusaha berpikir positip dan menganggap lo berubah karena waktu. Gue ga pernah berpikir kalo lo berubah karena penolakan gue sebab kalo gue tau, hubungan kita sebagai patner akan terbebani," Daniara menjeda.

"Gue bener-bener minta maaf atas semua yang udah gue lakuin empat bulan lalu sama lo. Gue cuma ga mau jatuh terlalu dalam sama anak Tuhan, Dir." sambungnya.

"Tapi-"

"Dir, kita damai, ya. Kita bisa berteman tanpa melibatkan perasaan. Kita bisa seperti itu, Dir."

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang