Dua Puluh Dua

77 11 0
                                    

Sepulang sekolah, Wisnu memilih untuk mampir ke rumah Fikri terlebih dahulu dari pada pulang ke rumah. Ia merasa bosan jika di rumah karena Bilqis pasti masih kuliah dan di rumah hanya dirinya seorang diri.

Rumah dengan dua lantai ini menjadi pilihan yang paling tepat jika Wisnu merasa sedang tidak baik-baik saja. Bukan, bukan karena dirinya memanfaatkan Fikri sebagai tempat pencurahannya, tetapi hanya Fikrilah yang bisa mengerti dirinya lebih dari Deon dan Putra.

Wisnu menghirup udara siang dari cendela kamar Fikri. Matanya memandang kosong pohon-pohon yang ada di depan sana. Setengah hatinya sedang tidak baik-baik saja. Rasanya, setengah dirinya hilang pergi entah kemana.

Fikri mendekat. Laki-laki berpakaian santai itu berdiri di sebelah Wisnu, menyodorkan sekaleng cola yang baru ia ambil dari dapur. Fikri ikut menatap lurus jalanan komplek yang sepi. Sesekali laki-laki itu meminum colanya.

Wisnu membuka kaleng cola pemberian Fikri, meminumnya hingga tandas. Fikri menatap Wisnu dan kaleng kosong yang di letakan di sisi cendela dengan pandangan heran. Minuman bersoda di minum dalam sekali tarikan napas.

Luar biasa.

"Lo lagi ada masalah?"

Wisnu menoleh pada Fikri sebentar lalu kembali menatap jalanan komplek.

"Ga ada. Cuma lagi mikirin kehidupan gue kedepannya aja gimana?"

"Kehidupan lo kedepan yang gimana, cok? Hidup lo udah bagus, orang tua ada, Kakak ada, apa yang kurang?"

Wisnu menghela. Matanya terpejam cukup lama lalu kembali terbuka dengan posisi tubuh berlawanan dengan Fikri. Kini tubuhnya menatap kamar Fikri sedangkan Fikri masih pada posisi awal.

"Lo kaya ga tau aja keluarga gue kaya gimana, Kri."

Fikri menghela.

"Setidaknya bokap nyokap lo masih utuh, Nu."

Wisnu terkekeh. Ia menertawakan dirinya sendiri. "Buat mata manusia lainnya orang tua gue emang utuh, tapi buat gue sama Bilqis, mereka cuma sebelah."

"Gue aja ga tau bokap gue gimana keadaannya sekarang. Terakhir dia telepon Balqis dan bilang mau nikah lagi sama temen sekantornya. Itu juga kurang lebih enam tahun lalu. " jelas Wisnu tanpa di minta.

"Nyokap gue? Dia juga udah nikah lagi kan sama pengusaha. Kemaren dia manggil gue di Cafe tempat gue bikin vidio. Gue kira mau apa, taunya cuma ngasih gue duit." sambungnya.

"Setidaknya nyokap lo masih perduli sama lo dan Bilqis. Lo harus bersyukur, Nu." nasihat Fikri.

Wisnu mengangguk-angguk. Ia memang tidak bisa mengumpatkan fakta jika Ibunya masih perduli terhadap dirinya dan juga Bilqis. Di banding dengan sang ayah, ibunya jauh lebih unggul dari pada ayahnya.

"Sekarang gimana?" Fikri berjalan masuk ke dalam kamar. Duduk di atas ranjangnya yang terbalut dengan sprai hitam polos.

"Apanya yang gimana?" Wisnu mengikuti Fikri yang duduk di atas ranjang besar milik laki-laki itu.

Fikri terkekeh tanpa sebab membuat Wisnu semakin pensaran dengan apa yang ada di pikiran temannya itu. Laki-laki berbadan gembal itu selalu memiliki topik untuk di bahas.

Selalu, tidak pernah tidak pernah.

"Apasih, pea! Jangan bikin gue penasaran!" serunya kencang.

Masih dengan tawanya Fikri berucap. "Lupain masalah keluarga lo yang jelas-jelas udah ketemu akhirnya. Sekarang gue tanya masalah percintaan lo. Gimana?"

Tengkuknya di usap kasar. Ini adalah tanda-tanda dimana seorang Wisnu salah tingkah. Gerakan tubuhnya akan random dan tidak jelas.

"Gimana? Ada kemajuan?"

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang