Pukul delapan malam, Daniara baru memasuki rumah dengan masih memakai seragam sekolahnya. Tas hitamnya pun ia bawa dengan tidak bersemangat.
Kakinya melangkah menuju dapur, mengambil sebotol air mineral lalu kembali berjalan keluar dapur tanpa menyapa mbok Dira yang kebetulan sedang berada di dapur.
"Ibu pulang besok, Neng. Katanya hari ini tidur di apartment."
Daniara hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia kembali berjalan menaiki anak tangga untuk masuk kedalam kamarnya.
Tas hitamnya ia taruh di atas meja belajar. Dirinya mulai menaruh perintilan yang ia bawa di atas kasur lalu masuk ke dalam toilet. Tidak lama suara gemericik air terdengar.
Gadis itu memilih mandi sebagai jalan ia mencari ketenangan. Memang sulit ada di posisi sekarang. Namun mau bagaimana lagi karena semuanya sudah di atur oleh sang pencipta.
Siang tadi. Setelah pak Robet mengatakan jika Cakra menelepon, Daniara meminta Robet untuk mengangkat telepon tersebut dan mengatakan jika dirinya tidak bersama dengan Robet.
Robet melakukan perintahnya tanpa ragu. Pria berumur itu kemudian menjalankan mobil memutari jakarta atas perintah Daniara.
Ada sekitar lima sampai enam jam dirinya di dalam mobil. Akhirnya Daniara memutuskan untuk pulang. Dan sekarang waktunya tiba.
Daniara selesai dengan mandinya. Gadis berpiyama hitam itu nampak segar setelah melakukan ritual mandinya. Daniara duduk di atas kasus. Menyambungkan ponselnya dengan kabel penambah daya dan menaruh sebuah parfum roll di dalam laci.
Ia bangun, menaruh handuk yang sejak awal ia gunakan untuk mengeringkan rambut. Handuk di lepaskan, lalu di taruh pada sisi toilet yang sudah di sediakan tempatnya.
Gadis itu berjalan pada balkon kamarnya yang tertutup, membuka pintu balkon kemudian ia keluar dan memilih duduk di atas lantai tanpa alas.
Kakinya di tekuk, pandangannya ada di langit yang terang dengan bintang sebagai teman. Kadang ia iri dengan bintang yang selalu ada untuk langit meski kadang langit terlihat malas untuk tersenyum.
Ia merasa ini tidak adil untuknya.
Napasnya di keluarkan dengan kasar. Kepalanya tertunduk menatap lantai yang dingin. Apa tindakannya salah? Apa ia memang benar-benar tidak memiliki sopan santun seperti apa yang di katakan papanya tadi.
Sejujurnya, dari hati yang paling dalam. Daniara sudah membenci papanya sejak dua tahun lalu. Tepatnya ketika ia menginjak kelas satu SMA.
Untuk pertama kalinya, Daniara merasa tidak di anggap ada oleh papanya sendiri. Sebab saat itu Cakra tidak mengakui dirinya sebagai anak hanya karena Daniara ketauan berkelahi dengan anak jurusan IPS.
"Dia bukan anak saya, Pak. Nanti Diandra yang akan mengurus anak nakal ini."
Daniara tidak tau pasti mengapa papanya mengatakan hal tersebut. Tapi yang jelas Cakra benar-benar mengatakan itu pada dirinya dua tahun lalu.
Kebenciannya pada sang papa semakin hari semakin meningkat. Perbuatan papanya yang selalu melukai hatinya di kumpulkan olehnya hingga tadilah puncak dimana ia marah.
Daniara benar-benar melukai harga diri mamanya karena dengan lancang terus menerus menantang orang tua. Tapi hatinya sudah tidak bisa lagi di ajak sandiwara. Hatinya menolak.
Gadis berpiyama itu bangun. Mendekat pada pot bunga yang ada di pojok, mengulurkan tangannya dan kembali menariknya ketika sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.
Ya, rokok.
Benda bernikotin itu ia ambil, tidak lupa pemantiknya yang akan menghantarkan ketenangan untuknya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya [Selesai]
Teen FictionSeries #9 Daniara *** Kehidupan yang enak serta segala sesuatu yang terturuti. Membuat hidup Daniara menjadi lebih indah dan terkesan hidup. Namun, jika dalam kehidupan ia menjadi anak yang paling beruntung, maka tidak dengan percintaannya yang sel...