Tiga Belas

70 7 0
                                    

Pagi yang indah dengan hembusan angin yang menemani. Gelapnya langit menandakan jika hujan akan turun membasahi bumi ini.

Daniara berjalan masuk kedalam sekolah bersama dengan beberapa teman sekelasnya. Gadis itu tersenyum cerah pada siapapun yang berberbicara padanya.

Hari ini dirinya di antar lagi oleh supir mamanya. Ia malas membawa motor dengan alasan dingin. Tapi memang nyatanya cuaca hari ini cukup dingin. Ia saja sampai memakai sweter rajut miliknya.

Yuni dan Sasi mendekat padanya. Daniara menoleh sebentar pada dua teman sekelasnya kemudian tersenyum.

Sasi mengeluarkan dua buah permen dari saku seragamnya. Gadis itu memberikan satu pada Yuni lalu ia sendiri membuka bungkus permen miliknya tanpa menawari Daniara sama sekali. Gadis itu maju selangkah agar lebih dekat dengan Daniara.

"Ceritanya jangan ribet ya, Dan. Gue mager kalo kelamaan bikin begituan." usul Sasi sekaligus memberi beban untuk Daniara.

Bagaimana tidak beban jika permintaan gadis itu terlalu banyak. Dari kemarin Sasi terus mengiriminya pesan. Meminta untuk membuat cerita dengan alur yang ringan. Meminta untuk dirinya di pasangkan dengan Wisnu jika ada adegan couple. Minta durasinya hanya sedikit padahal sudah di terangkan jika minimal durasi rekam adalah lima menit.

Dan sekarang minta untuk tidak ribet. Helloo, permintaannya sejak kemarin saja sudah jauh dari kata ribet.

Daniara terkekeh kesal. Lihatlah. Gadis di sampingnya benar-benar menyabalkan.

"Iya, nanti di usahain, ya." ucapnya masih sopan. "Duluan." dilanjut dengan berjalan capet malas untuk meladeni Sasi.

Di kelas. Daniara berjalan pada kursinya yang sudah ada Hilda di tempat. Membanting tasnya dengan kesal lalu gadis itu memilih duduk di samping Susi.

Susi mengerjit. "Ngapa lo?"

Daniara masih diam. Ia masih malas untuk bicara mengenai masalah tadi.

"Kenapa, sih? Pagi-pagi udah marah-marah aja?" Hilda ikut bertanya. Temannya jarang sekali seperti ini kecuali memang sedang ada hal yang besar seperti masalah keluarga.

Daniara menghela napas. Mengambil es milih Hilda yang ada di atas meja, menyeruputnya dengan penuh amarah lalu di kembalikan dalam keadaan bersih menyisahkan es batunya saja.

Matanya bergulir pada Sasi yang baru saja memasuki kelas dengan Yuni. "Adek lo, noh. Banyak banget permintaannya. Dari kemaren ngechat gue minta gini, minta gitu. Terus tadi nambah lagi minta jangan lama-lama." Daniara menarik napas. "Di kira ngetake vidio tugas kaya goreng telor ceplok kali. Ngeselin banget!"

Amarahnya meluap. Namun tidak teriak-teriak sehingga hanya Hilda, Susi dan juga Naina saja yang mendengar. Naina memang duduk di belakang Daniara persis.

Gadis berbadan sedikit pendek itu duduk dengan Cinta yang kebetulan belum datang.

"Adek lo, Adek lo. Noh kembarannya Susi!" Hilda protes. Pasalnya Daniara mengatakan 'Adek lo' itu dengan mata yang terarah pada Hilda.

Daniara membuang muka. Menatap papan tulis yang sedang di bersihkan oleh salah satu temannya. Sementara Hilda dan Susi terlihat diam namun sesaat kemudian Susi angkat bicara.

"Suruh dia yang bikin alur aja. Kan, kalo dia yang bikin dia bisa nentuin gimana jalan ceritanya, berapa lama durasi dan masih banyak lagi."

"Lagian, lo mau-mau aja di suruh bikin naskah. Gue aja udah mundur duluan pas di tunjuk kemaren sama sih Putra." Hilda menyambung.

Daniara menghela. Andai saja teman-temannya tidak tau jika dirinya seorang penulis Wattpad, mungkin dengan mudah Daniara berbohong dan menimpalkan tugas ini pada Sasi atau yang lainya.

"Ya mau gimana. Naina udah minta tolong gue kemarin, gue ga enak kalo nolak." jawab jujur Daniara.

Kedua temannya memandang dirinya dengan penuh belas kasihan. "Yaudah, di terima aja." Susi berkata.

"Ya tapi ga bis-"

"Dan, sorry banget kalo gue ngerepotin." suara Naina masuk pada argumen yang sedang Daniara, Hilda dan Susi bangun.

Gadis dengan rambut tergerai itu tiba-tiba mendekat dengan wajah yang sedikit merasa bersalah. Nada bicaranya pun seperti orang yang merasa telah membuat kesalahan yang besar.

Hilda menoleh ke kanan, sedangkan Daniara dan Susi hanya mengubah pandangan mata karena posisi mereka yang memang sudah pas jika harus memandang kearah Naina berdiri.

Ketiga remaja itu tersenyum pada Naina. Daniara menepuk pundak Naina dan berkata. "Santai aja. Selagi lo ga banyak nuntut, ya gue ga ngerasa di repotin sama sekali." katanya tulus. Daniara mengambil tasnya, mengeluarkan lembar kertas yang sudah ia gabungkan menjadi satu dengan paper clip.

"Ini, udah gue bikin. Lo baca, nanti kalo emang ga cocok bilang biar gue revisi hari ini juga." bibirnya tersenyum. "Oiya, kan ada beberapa adegan orang pacaran gitu, sesuai permintaan Sasi, pasangin dia sana Wisnu, ya." pesan Daniara.

Naina menerima kertas itu, "Gue baca dulu ya, Dan. Btw, sorry banget kalo emang udah bikin lo repot." ujarnya sungguh-sungguh.

Senyum tulus Daniara terpancar. Daniara memang seperti itu. Ia tidak akan pernah merasa menjadi beban jika apa yang ia lakukan di terima dengan baik tanpa banyak bicara.

"Selagi lo ga kaya kembaran sih Susi, Nia bakalan ikhlas ngelakuin apapun buat kelompok kalian." Hilda lagi-lagi ikut bicara tapi kembali membawa-bawa Susi.

Susi melempar kaca mata milik Daniara pada Hilda. Hilda tertawa geli membuat Naina merasa tenang. Naina kembali pada tempat duduknya.

Daniara terdiam.

Sebentar.

Kaca mata itu...

Shit!

"Susi setan! Kaca mata gue, anjir!" Daniara mengeplak kepala Susi namun masih di alasi oleh telapak tangannya.

"Ampun!" teriak Susi kencang.

"Mahal itu bangke!" teriak Daniara lagi.

Hilda menggeleng kepala. Pusing dengan kelakuan dua temannya yang selalu seperti itu.

Melupakan ketiga remaja banyak gaya itu, kini di pojok kelas ada Putra yang tengah diam di kursinya dengan kedua tangan yang di taruh di atas meja. Telinganya tersumpal handset berkabel yang tengah mengalunkan musik kesukaannya dengan kencang.
Namun kedua bola matanya terbuka dengan lebar memperhatikan teman-temannya yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Deon duduk di kursi kosong sebelah Putra. Meletakan ponselnya di atas meja kemudian melirik Putra yang sibuk dengan hal-hal yang tidak berfaedah.

"Bolos aja, Yuk, Put," ajak Deon.

Putra masih diam. Alunan musiknya sangat kencang sehingga ia tidak bisa mendengar apapun yang Deon katakan.

"Put!" panggil Deon lagi. Deon menoleh pada temannya. Dengan kesal Deon menarik benda yang tersumpal di telinga temannya.

Putra kesal. "Apa sih monyet! Ganggu aja!" marahnya, karena kesenangannya terganggu.

Laki-laki berbadan gempal itu tersenyum menunjukkan giginya. "Bolos, yuk!" ajak Deon lagi.

Desahan kesal keluar begitu saja. Dirinya sedang tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Ia hanya ingin duduk dan diam. Jika bisa ia akan menutup mata dan tidur untuk sebentar.

"Males. Sama Fikri aja sono!"

"Ah, males. Fikri banyak alesan kalo di ajak bolos."

"Yaudah, di kelas aja, sih! Ga usah kemana-mana." putus Putra.

Laki-laki itu kembali memasang benda berkabel yang sempat terlepas melupakan Deon yang masih menggerutu di sampingnya.

"Ah, ellah! Padahal ada cewenya di kantin!"

~Daniara~

Hello!

Happy Reading gaes!

Vote komennya di tunggu.. Hihiw

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang