Sembilan Belas

70 8 0
                                    

Akhirnya tugas mereka selesai. Daniara tersenyum sendiri mengetahui jika tugas mereka selesai di jangka waktu satu hari saja. Setelah tadi mengambil gambar untuk dialog Naina, tidak lama Wisnu, Sasi dan Zain menyusul sudah dengan pakaian rumah mereka.

Cerita mereka bukan hanya melingkup latar sekolah. Mereka berlima berhasil menyelesaikan tugas dengan sangat baik tanpa banyak halangan. Sekarang hanya tinggal satu langkah lagi yaitu proses pengeditan.

"Vidio yang ada di HP lo kirim semua ke gue, Nai." ucap Wisnu sambil memainkan ponselnya. Laki-laki itu bertugas mengerjakan hasil akhir tugas mereka yaitu pengeditan.

Kebetulan kelompok mereka tidak menyewa jasa vidiografer atau menggunakan kamera. Mereka hanya mengandalkan ponsel dan juga tripot sebagai alat bantu.

Naina mengangguk. Gadis dengan rambut sebahu itu terlihat serius dengan ponsel berbeda dengan Daniara yang sibuk dengan lamunannya. Pikiran Daniara masih ada di antara papa dan mamanya.

Zain memilih memakan sosis bakar yang tadi Daniara pesan. Zain memang sedikit pendiam. Tapi Zain mudah beradaptasi dengan orang-orang di sekitar.

"Nu, balik anterin gue, ya." kata Sasi tiba-tiba membuat Wisnu yang semula duduk tenang kini menoleh kekiri di mana Sasi duduk.

Wisnu terdiam sebentar. Ia nampak berpikir sebelum akhirnya menggeleng. "Ga bisa. Gue di suru anterin Naina pulang sama Fikri." jawabnya tenang.

Sasi menghela kasar, ia mengambil gelas minumannya lalu menaruhnya kembali tanpa di minum. Matanya menatap Naina kesal. "Hidup lo ngerepotin orang terus, kayanya!"

Naina yang sedang bersantai dengan makanan di depannya terkejut ketika suara Sasi terdengar cukup keras di tambah dengan sedikit hentakan gelas.

Alisnya saling bertautan. Ada masalah apa Sasi dengannya?

"Kenapa lo?" Naina bertanya santai tanpa ada nada tinggi sama sekali. Gadis itu melirik Daniara yang hanya diam bersikap seolah-oleh dirinya tidak ada di tempat.

"Lo!" Sasi menunjuk Naina dengan telunjuknya. "Seharusnya kalo udah punya pacar ya udah sama pacar lo aja. Ngapain masih minta anterin pulang sama cowo lain?! Hah?"

"Dih, sakit." jawab Naina acuh.  "Ada masalah apaan lo? Kesel karena peran utamanya Dania? Iya? makanya lo lampiasin amarah lo pake tingkah yang ga jelas kaya gini?" lanjutnya.

Kali ini Sasi yang diam. Gadis itu tertangkap basah. Ia memang sedang kesal karena masalah pemeran utama dalam tugas mereka kali ini. Naskah yang ia terima tiba-tiba saja berubah. Naskah pertama dengan yang kedua sangat jauh berbeda. Naina berhasil membuat Sasi yang semula berpasangan dengan Wisnu kini di ganti dengan Daniara.

"Ga gitu! Lo kira gue bocah kali! Ga jelas banget!" marah Sasi tidak suka. Gadis itu berjalan keluar cafe begitu saja tanpa pamit.

Daniara tertawa pelan melihat Sasi yang kesal dan bertingkah layaknya anak kecil di tambah dengan Naina yang tertawa begitu lepas sampai satu cafe menoleh.

Jujur, awalnya Daniara menolak dengan keras jika ia di jadikan pemeran utama wanita yang mana akan di pasangkan dengan Wisnu. Namun Naina dengan paksaannya yang menggebu memintanya untuk mengikuti permintaannya.

Lagi pula, Wisnu tidak menolak dan malah terlihat lebih bersemangat ketika Naina memberitau jika Daniaralah pemeran utamanya.

"Lo emang bisa banget bikin Sasi emosi, Nai." Zain bersuara. Laki-laki itu memakai jaketnya lalu berdiri. "Gue balik duluan, ya." pamitnya.

Daniara, Naina dan Wisnu mengangguk. Ketiga remaja itu kembali meminum minuman mereka yang masih tersisa banyak.

Daniara mengambil ponselnya, membalas pesan dari dua temannya dan juga Putra. Berbicara tentang Putra, akhir-akhir ini laki-laki itu sering sekali mengiriminya pesan. Baik berisi hal penting atau hanya kalimat iseng yang kadang bikin Daniara malas untuk meladeninya.

Keadaan meja mereka tenang. Sibuk sendiri dengan kegiatan yang hanya mereka yang tau. Tiba-tiba Wisnu berdiri keluar dari meja membuat Daniara dan Naina terkejut. Kedua gadis itu mengikuti Wisnu yang berjalan ke pojok cafe.

Daniara dengan cepat kembali pada posisinya. Memasukan ponsel dan power bank ke dalam tas yang ia bawa. Matanya menatap Naina. "Gue juga balik, ya, Nai." pamitnya.

Naina mengangguk. "Hati-hati. Sama siapa?"

"Di jemput sama supir. Duluan, ya."

Setelah melihat anggukan dari Naina, Daniara segera keluar cafe dengan terburu. Ia berdiri di depan Cafe mencari di mana pak Robet berada. Pria tua itu memang tidak ia izinkan pulang.

"Kemana sih?!" kesalnya.

Ponsel di tempelkan pada daun telinganya. Namun yang ia dengar hanya suara operator yang mengatakan jika nomor pak Robet tidak aktif.

Helaan napas keluar.

Tiba-tiba dirinya menjadi emosi tidak jelas. Hal apa yang membuat perasaannya tiba-tiba berubah? Mengapa atmosfer dalam dirinya seakan lebih sensitif.

"Pak Robet mana sih?" tanyanya pada diri sendiri. Kakinya berjalan seperti setrikaan. Mondar mandir tidak jelas.

"Nia?"

Tiba-tiba suara seseorang terdengar.
Kakinya berhenti. Matanya menatap orang yang memanggil namanya itu. Dengan pakaian formal, orang itu berdiri tepat di depannya. Napasnya tiba-tiba tidak beraturan.

"Kamu ngapain?" tanya orang itu lagi.

"Nia... habis nongkrong sama temen?" kembali bertanya tapi lagi-lagi Daniara mengabaikan pertanyaan orang itu.

Daniara seakan tuli.

"Nia, Papa minta maaf untuk masalah kemarin, ya. Papa terbawa emo-"

"Neng. Maaf. Bapak ketiduran." suara pak Robet dengan Mobil hitam yang berhenti tiba-tiba itu, sedikit memberi ruang pada dada Daniara.

Daniara menatap Cakra singkat lalu berkata. "Nia pulang dulu, Pa." setelah mengatakan itu, Daniara masuk ke dalam mobil meninggalan Cakra yang terdiam.

Mobil berjalan.

Di dalam mobil Daniara menoleh kembali pada Papanya yang sudah berjalan masuk ke dalam cafe lalu hilang di telan pintu.

"Itu, Bapak neng?"

Kepala Daniara spontan menghadap depan lalu berdehem singkat. Ia malas untuk membahas tentang papanya.

"Ibu tadi telepon saya. Ibu bilang kalo Ibu belom bisa pulang, Neng. Lagi banyak kerjaan katanya." ujar pak Robet menyampaikan apa yang di katakan oleh majikannya tadi.

Daniara mengangguk saja. Ia tidak mengatakan apapun karena Daniara tau kondisi mamanya. Pasti wanita satu anak itu sedang sibuk mengurus berkas perceraiannya lagi.

Ponselnya berketar. Gadis itu mengambilnya lalu membuka pesan dari Alfa. Senyumnya terbit. Entah sejak kapan Daniara jadi semakin gencar mengirim dan membalas pesan dari laki-laki bernama Alfa itu.

Ponselnya di taruh kembali kedalam tasnya. Ia membuka pintu mobil dan berjalan masuk kedalam rumah setelah mengucapkan terima kasih pada pak Robet.

Kakinya melangkah dengan tenang tapi, seketika kaki jenjang yang terbalut jeans itu berhenti berjalan. Matanya spontan menatap seseorang yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan seorang laki-laki seumuran dengannya.

Daniara berjalan pada wanita itu, menyaliminya lalu memilih duduk di hadapan wanita yang sangat, sangat, sangat ia kenali.

"Ada keperluan apa Tante kesini?"

~Daniara~

Hello!

Maaf dua hari ngilang ya gaes. Ibunda saya sedang sakit, jadi ga sempet buka WP. Jangankan WP, WA aja jarang. Hihi.

Oiya, nanti jam 2an saya up lagi ya, untuk ganti yang hari minggu.

Terima kasih.

Semoga suka...♡

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang