Sendok di tangannya di letakan dengan kasar oleh Daniara. Mangkuk puding itu di dorong menjauh dari pandangannya.
Rasanya Daniara ingin sekali keluar dari rumah ini. Ia ingin pergi jauh agar matanya tidak bertemu dengan mata wanita itu.
Napasnya di kendalikan dengan amat paksaan. Kali ini rasanya Daniara tidak bisa lagi memaklumi atau menahan emosinya. Daniara tidak lagi bisa mengendalikan akalnya dan Daniara akan dengan terang-terangan mengatakan jika ia membenci papanya dari pada berlindung dari kata kesal.
Wanita itu di persilahkan duduk oleh Irawan. Kursi yang di pilih adalah kursi kosong yang ada tepat di samping Cakra yang berada persisi di depannya. Sejak awal mama dan papanya memang duduk berjauhan.
Cakra dan Alya duduk berdekatan dengan Dewa dan tata. Sedangkan Diandra, Sintiya dan Dewi duduk di kursi seberang. Irawan dan Chiko memilih duduk di kursi kepala dan ekor.
Irawan berdehem. "Karena Alya sudah datang, alangkah baiknya kita makan lebih dulu saja." katanya di angguki yang lain.
Irawan mulai mengambil piringnya sendiri. Mengisi piring itu dengan nasi serta lauk pauk yang ada. Daniara belum bergerak sama sekali, tangannya masih ada di atas pahanya terkepal dengan kuat.
Diandra memberikan piring miliknya yang sudah terisi oleh nasi dan capcai saja. Daniara menerimanya tapi tidak mengatakan apapun. Piring milik Daniara di minta oleh Diandra untuk dirinya pakai.
Matanya menatap dua manusia berumur yang sedang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Di depannya Alya tengah menyendokan terong balado untuk Cakra. Sedangkan Cakra hanya diam tidak merespon apapun.
"Nia, kok sama capcai doang?" Chiko bertanya.
Daniara mengalihkan pandangan matanya dari Cakra dan juga Alya. Daniara menggeleng memberi jawaban untuk Chiko.
"Kenapa?"
"Gapapa, Om."
"Ga suka masakan Omah, ya?" Tata ikut bergabung. Tata memang memperhatikan Daniara sejak awal Alya datang.
Gadis berkuncir kuda itu menggeleng dengan senyum paksa. "Aku ga gitu suka terong, Omah. Maaf, ya." jawabnya jujur.
"Ada rendang, kan. Ga suka rendang juga?"
"Maaf, Omah. Gigi aku habis di tambal dua minggu yang lalu. Aku takut kenapa-napa, jadi belum berani makan yang keras." jawabnya jujur.
Dua minggu lalu memang Daniara pergi ke dokter gigi untuk menambal giginya yang sudah berlubang dan sering sakit jika di bawa makan. Hal hasil sampai sekarang ia belum berani makan yang keras dengan alasan takut retak.
"Oallah." Tata mengerti.
Mereka semua diam. Sibuk memakan makan siang mereka dengan hening. Diandra melirik anaknya yang tidak menyentuh nasinya sama sekali. Hanya di aduk-aduk sampai terlihat berantakan.
Lima belas menit kemudian mereka semua selesai makan. Tidak, Daniara sudah selesai sejak tadi sebab gadis itu sama sekali tidak memakan nasinya.
Piring di bereskan oleh tiga asisten rumah tangga yang bekerja, meja bersih dan sekarang di isi oleh buah-buahan sebagai pencuci mulut.
"Em... Maaf, Om. Tante ini siapa, ya? Kok ikut makan sama kita?"
Pertanyaan Dewi sontak membuat orang-orang yang ada di meja makan diam seribu bahasa. Daniara ikut diam tapi matanya tidak. Sibuk bergerak memperhatikan orang yang ada di sini.
"Tante Alya ini temen Om, Dewi." Cakra menjawab dengan nada yang pelan. Kepalanya tertunduk menatap piring buah.
Dewi ber-oh-ria. Ia tidak bisa bertanya banyak karena bundanya terus saja menginjak kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya [Selesai]
Teen FictionSeries #9 Daniara *** Kehidupan yang enak serta segala sesuatu yang terturuti. Membuat hidup Daniara menjadi lebih indah dan terkesan hidup. Namun, jika dalam kehidupan ia menjadi anak yang paling beruntung, maka tidak dengan percintaannya yang sel...