Dua Puluh Tujuh

72 9 0
                                    

Pukul tujuh kurang sepuluh Daniara turun. Pakaiannya rapih namun simple. Gadis itu hanya memakai celana kulot yang di padukan dengan kaus berlengan tiga perempat. Ada slingbag juga yang tersampir di bahu kirinya.

Daniara melirik sekitar, tidak ada tanda-tanda keberadaan mamanya di sini. Ia memilih berjalan ke kamar mamanya berada.

Tok... Tok... Tok...

"Ma, aku masuk, ya?"

Tidak ada suara.

Daniara yang penasaran memilih membuka knop pintu kamar mamanya secara perlahan. Pintu terbuka sedikit, ia mengintip dan tersenyum melihat mamanya yang sedang berdiri di sisi ranjang.

"Iya, saya kesana sebentar lagi. Tunggu aja."

Rupanya mamanya sedang menelepon. Pantas saja tidak mendengar.

"Ma?" Daniara masuk.

Diandra menoleh kemudian tersenyum. Ia memberi isyarat untuk menunggu sebentar pada anaknya.

"Ok." panggilan di putus. Ponsel Diandra di letakan di atas nakas lalu sih pemilik ponsel menyuruh anaknya untuk duduk lebih dulu di sofa yang tersedia.

Daniara duduk. Ia memperhatikan kamar mamanya yang banyak berubah. Tidak ada bingkai foto pernikahan sama sekali di kamar ini, padahal beberapa minggu lalu Daniara masih melihat ada satu bingkai foto pernikahan mama dan papanya yang di gantung di dekat cendela.

Namun ternyata sekarang sudah nihil. Hanya ada jam dinding dan satu bingkai foto dirinya yang sedang tersenyum ke arah kamera di atas meja kerja mamanya.

"Nanti pulangnya agak lama gapapa, kan, sayang?"

Daniara spontan menatap mamanya yang masih sibuk dengan berbagai kertas di atas ranjang. Dirinya tergagap.

"Em. Anu, Ma. Emm..." masih belum bisa mengatakan jika ia memilih tidak ikut dengan mamanya.

"Kenapa?"

"Emm... Ini, Ma. Nia ada janji dadakan sama Dirga. Em... Nia ga jadi ikut Mama, gapapa, kan?"

Gerakan tangan Diandra terhenti. Wajahnya berubah kecewa tapi kemudian tersenyum. Matanya menatap lurus mata anaknya yang terlihat bersalah.

Diandra mendekat pada anaknya, duduk di sampingnya kemudian berkata. "Gapapa, Sayang. Lagian Mama cuma mau kasih berkas perceraian aja, kok. Selebihnya Mama mau ke rumah Kakek. Kamu kalo ada urusan, gih, pergi. Gapapa."

Daniara masih diam.

"Gapapa, sayang. Kenapa diem aja? Sana, nanti keburu malem." lanjut Diandra.

Perlahan, senyum Daniara terbit. Ia memeluk mamanya singkat. "Makasih, Ma." "Dan maaf udah bohongin, Mama." sambungnya dalam hati.

"Iya. Tapi jangan malem-malem pulangnya, ya." pesan Diandra di angguki Daniara.

"Sama Pak Robet, kan?" tanya Diandra lagi.

Daniara menggeleng. "Aku naik ojek online aja, Ma. Kan nanti ketempat sewa tendanya sama Dirga." katanya bohong lagi.

Baiklah. Kebohongan pertama akan menjadi pintu untuk kebohongan selanjutnya.

"Yaudah, gapapa. Sana berangkat."

Daniara beranjak. Menyalimi mamanya lalu berjalan keluar dengan terburu. Saat di luar, sudah ada seorang bapak-bapak siap dengan motor meticnya.

Ia adalah, pak Burhan. Tukang ojek yang selalu ia panggil jika dalam keadaan dadakan.

"Maaf lama ya, Pak. Langsung ke tempat tujuan aja." katanya langsung duduk di atas motor.

Segalanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang