Lapangan sekolah penuh di isi oleh siswa siswi SMA Cemerlang. Teriknya matahari membuat hormon emosional seluruh murid menaik.
Seperti biasa. Guru-guru ada di posisi paling depan. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang memang harus di sampaikan secara langsung oleh para murid.
Putra, Wisnu, Fikri dan Deon ada di barisan paling belakang. Keempat laki-laki itu berdiri dengan berbagai gaya. Putra yang berusaha stay cool mempertahankan wajah coolnya. Wisnu yang terus menerus menghindari matahari. Fikri yang terlihat lelah dan memilih untuk berjongkok berlindung dari teriknya matahari. Serta, Deon yang sudah pasrah dengan hidupnya itu memilih duduk dengan kaki yang di luruskan.
Barisan ini benar-benar kacau.
Kelas dua belas memang terlampau bandel. Entah mereka merasa sudah hampir selesai atau memang pada dasarnya bandel. Kita tidak tau. Sifat manusia berbeda-beda, bukan.
Guru dengan badan sedikit gempal dan kepala yang botak mengkilap berjalan dari sisi samping menuju belakang dengan perlahan. Ia ingin melihat siapa saja anak bande,l yang tidak mendengarkan kepala sekolah berbicara.
"Deon! Fikri! Bangun kalian berdua!"
Teriakan pak Santoso membuat Deon dan Fikri yang sedang bersantai itu terkejut bukan main. Deon menyengir kuda lalu bangun dengan susah payah sebab badannya pun sedikit agak berisi.
"Eh, Bapak." katanya.
"Sudah tidak mendengarkan, duduk, makan permen juga kamu, Deon!" teriak pak Santoso membuat beberapa anak di baris belakang menoleh.
Sebagian yang mengenal Deon memanas-manasi pak Santoso untuk menghukum Deon. Ada juga yang hanya berteriak-teriak tidak jelas.
"Ya maaf, Pak. Abis panas jadi saya duduk lah." bela Deon untuk dirinya sendiri.
"Apaan?" tanya Deon bingung ketika pak Santoso menyodorkan tangannya seperti memint.
"Permen."
"Dih, saya dari Fikri, Pak." jawabnya jujur.
"Fikri!"
Fikri yang berposisi berdiri di depan Deon menoleh ke samping kanan di mana pak Santoso berdiri. "Apaan, Pak? Saya udah berdiri ini."
"Saya minta permennya." ceplosnya tidak tau malu.
"Saya ga ada lagi, Pak. Saya aja di kasih sama Daniara." jujur. Laki-laki itu berkata dengan sungguh-sungguh bahwa permen yang di makan oleh Deon adalah pemberian Daniara tadi sebelum mereka di kumpulkan di lapangan.
Pak Santoso berdecih lalu melangkah pergi pada jalan yang tadi guru itu lewati.
Putra menoleh kebelakang setelah sejak tadi bergaya sok di siplin. "Apaan sih? Berisik banget tuh guru?"
"Deon, noh. Ngeganyem permen mulu. Mana gue kena juga." cerocos Fikri membuat Deon di belakang senyum-senyum tidak jelas.
"Udahlah, dengerin noh guru ngomong." Wisnu menjadi penengah.
Keempatnya kembali berdiri dengan posisi tegap. Menatap barisan kepala-kepala teman-temannya.
Di barisan tengah. Daniara celingak celinguk mencari keberadaan dua temannya yang berbeda barisan denganya. Sejak pertama berdiri, ia berusaha baris di dekat dua temannya. Namun tidak bisa karena saat pengumanan baris, kedunya sedang ada di toilet dan hal hasil mereka terpisah.
Ponsel di genggamannya bergetar. Jika di sekolah ia memang mengaktifkan mode getar tapi jika di rumah Daniara memilih mode senyap.
Pesan dari Hilda masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya [Selesai]
Teen FictionSeries #9 Daniara *** Kehidupan yang enak serta segala sesuatu yang terturuti. Membuat hidup Daniara menjadi lebih indah dan terkesan hidup. Namun, jika dalam kehidupan ia menjadi anak yang paling beruntung, maka tidak dengan percintaannya yang sel...