"Chika, kamu darimana jam segini baru pulang nak?" Aya menatap khawatir putrinya yang baru saja masuk kedalam rumah. "Mami telfonin gak kamu angkat, Mami tanya temen temen kamu juga gak tau kamu kemana." Aya mendekati Chika dan melihat mata sembabnya. Apa yang terjadi dengan putrinya?
"Maaf Mi, tadi hp Chika lowbat. Chika keatas dulu ya Mi." Chika tersenyum tipis dan kembali melangkah, namun saat akan menaiki tangga suara Aya kembali menghentikan langkahnya.
"Kamu gak baik-baik aja Kak. Tadi guru kamu telfon dan bilang kalau kamu gak ikut kelas setelah istirahat." Aya berjalan kearah Chika, menarik bahu putrinya agar mau menghadapnya. "Kamu kenapa Sayang, cerita sama Mami?" melihat Chika seperti ini membuat hati Aya sebagai seorang ibu merasa khawatir.
Dengan mata berkaca-kaca Chika diam menatap Maminya. Chika tidak buta untuk tidak melihat kekhawatiran disana namun untuk sekarang hanya diam yang bisa ia lakukan. Ada ketakutan-ketakutan yang berusaha ia sembunyikan, khususnya pada kedua orangtuanya.
"Mi, izinkan Chika istirahat ya. Chika capek mau tidur."
"Kamu sama Aran gimana? Mami udah jarang lihat kalian bareng lagi."
Chika memejamkan matanya bersamaan dangan keluarnya helaan napas. Chika kembali membuka mata menatap Aya dengan tatapan memohon. "Mami Pliss, Chika minta tolong jangan bahas Aran lagi. Chika udah gak mau denger apapun dari dia lagi."
"Tapi kenapa? Kalian masih pacaran kan? Kasihan Aran kalau kamu gini terus. Mami denger cerita Zee kalau kamu itu kasar sama Aran, kamu bahkan hina-hina dia. Jangan gitu Chika, Mami sama Papi gak pernah ngajarin anak anak untuk bersikap tidak sopan." tangan Aya mengelus bahu Chika, sebisa mungkin Aya bersikap lembut.
"Tapi Aran sendiri yang mulai Mi."
"Aran cuma mau dekat aja, dan itu wajar karena kalian masih pacaran. Jangan gitu lagi ya, pikirin perasaan orang tuanya kalau tau anaknya kamu kasarin." Aya tidak tau apa yang terjadi di antara mereka namun sejak saat Chika mengusir Aran di rumah sakit Aya sudah bisa menyimpulkan jika hubungan keduanya sedang tidak baik. "Dengerin Mami, kalau emang kamu udah gak mau sama Aran lagi mending kamu putusin dia, ngomong baik-baik dan jangan malah bertingkah kayak gini."
"Mami udah ya, Chika beneran capek. Chika mau keatas dulu."
Tidak ingin mendengar apapun lagi dari Aya Chika sesegera mungkin berjalan menaiki tangga. Semakin lama disana kepalanya akan semakin dibuat sakit. Aya, maminya itu tidak akan berhenti berbicara sebelum ia mengiyakan.
Chika masuk kedalam kamar dan langsung mengunci pintu. Tubuhnya ia biarkan bersandar pada pintu Dangan mata terpejam. Air mata yang sedari di tahanya meluruh begitu saja. Chika menangis tanpa suara, mulutnya di paksa bungkam meski ada ratusan keluhan yang ingin di keluarkan.
Siang tadi, saat ia tidak sengaja bertemu Aran di rooftop Chika tidak bisa lagi mengendalikan diri. Ekspresi wajah Aran serta permohonan maafnya membuat hatinya bergejolak sakit. Kepalanya di paksa mengingat namun hatinya terus saja menolak, sedikitpun Chika tidak ingin mengingat atau bahkan mengenang apapun tentang Aran.
Chika sadar sikapnya keterlaluan. Apa yang sudah ia lakukan barang pasti akan mengecewakan kedua orangtuanya. Chika tidak sanggup jika harus menjadi alasan tangisan orang tuanya. Mami dan Papi nya sudah terlalu baik sebagai orang tua namun Chika sudah merasa gagal menjadi seorang anak. Chika terluka namun kedua orang tuanya lebih lagi merasakan sakitnya.
"Tuhan, kenapa aku harus selamat dari kecelakaan itu, bukankah lebih baik jika aku mati." tubuhnya meluruh jatuh, duduk diatas lantai kamar yang dingin. Meski ribuan kata ia ucapkan untuk membuat Aran menjauh tidak sedikitpun membuat langkah pria itu mundur. Apa yang harus Chika lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE (END)
Teen FictionSebuah janji yang teringkari, cinta yang di paksa berhenti, dan rindu yang harus di pendam sendiri.