Aran menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Chika, sejak hari itu Chika benar-benar tak mengizinkannya untuk masuk, setiap Aran ingin menjemput ia hanya bisa menunggu dari luar gerbang. Seperti halnya sekarang, Aran berdiri seraya menunggu Chika keluar rumah. Menatap rumah di depannya dengan senyuman tipis, teringat dulu saat Chika sering merengek minta di temani bila orang tuanya sedang tidak ada di rumah.
"Nunggu non Chika lagi Mas, gak capek di marahin terus."
Aran menoleh menatap satpam rumah Chika yang menghampirinya, Aran tersenyum tipis. "Enggak pak." jawabnya singkat, Aran menghela napas seraya mengusap matanya yang terasa berat, semalam Aran tidak tidur memikirkan banyaknya masalah yang datang di kehidupannya.
"Tapi kayaknya Mas Aran kalah cepet deh." Pak Galih menatap Aran lalu mengalihkan pandangannya pada dua orang berseragam SMA yang baru saja keluar dari rumah. "Non Chika udah ada yang jemput, cowo, bahkan tadi diajak sarapan bareng sama Nyonya Aya."
Aran mengikuti arah pandang Pak Galih lalu menghela napas lebih panjang lagi, Aran berjalan masuk menghampiri Chika yang berdiri bersebelahan di samping Gito. Pria itu semakin berani mendekati Chika, Aran takut Chika akan benar-benar di rebut oleh Gito.
"Lo lagi!" Gito menatap Aran sekilas kemudian tersenyum tipis, wajah pria itu benar-benar kacau dengan banyak bekas luka di wajajnya.
Aran tidak mempedulikan cibiran Gito karena fokusnya hanya tertuju pada Chika. Aran akan berusaha menganggap Gito tidak ada agar tidak ada perkelahian di antara mereka, ia tidak ingin Chika semakin membenci dirinya.
"Hari ini mendung, karena takut hujan jadi aku bawa mobil. Kamu barang aku ya." Aran memberanikan diri meraih tangan Chika, belum sampai tanganya menggenggam Chika lebih dulu menepisnya. Aran menunduk menatap tanganya sendiri.
"Aku udah nyuruh kamu untuk gak jemput aku lagi Aran."
Aran masih diam, suara Chika tidak lagi mengeras seperti biasanya namun kenapa hatinya justru sakit, padahal bukan sekali dua kali ia mendapat penolakan serupa dari Chika. Apa karena hatinya sedang terluka parah karena perceraian kedua orangtuanya, makanya rasa sakit itu bertambah parah.
"Berhenti jemput aku."
"Terus kamu mau bareng sama dia?" Aran akhirnya mendongak menatap Chika, menatap lekat wajah cantik itu yang tidak lagi berhias senyum. Chika selalu menatapnya dingin penuh kebencian tanpa Aran tau apa salahnya.
"Iya, aku yang nyuruh kak Gito datang dan jemput aku." ucap Chika berhasil menghadirkan senyum di wajah Gito, bahkan dengan berani Gito mendekat dan langsung merangkul bahu Chika.
Aran tidak bergeming, matanya masih begitu lekat menatap Chika. Hingga detik berikutnya Aran mengangguk, tubuhnya bahkan sedikit menyingkir dari hadapan Chika. Aran membiarkan Chika bersama pria lain tanpa berusaha menghalanginya. Rasa pusing di kepalanya membuatnya malas berdebat, tubuhnya bahkan mulai terasa lemas.
"Hati-hati, jangan ngebut kerena takut telat."
"Tenang aja, Chika lebih aman sama gue dari pada sama lo."
Aran mengangguk, "Jangan nyalakan AC, Chika gak suka mobil ber-Ac." Aran mundur beberapa langkah, memberi jalan mereka berdua tanpa ada niat menatap salah satunya. Aran hanya diam dengan pandangan sedikit kosong, Aran benar-benar merasa sangat pusing.
Bukanya jalan, Chika malah bergeming tanpa melepas pandangan pada Aran yang beberapa kali membuang napas. Chika merasa Aran sedikit berbeda, Chika juga melihat wajah pria itu yang sedikit pucat. Tidak biasanya juga Aran mengalah seperti ini, pria itu bahkan tidak bersuara selantang biasanya.
"Ayok Chik." Gito menggandeng tangan Chika dan membawanya pergi dari hadapan Aran.
Sepeninggalan mereka Aran langsung menyandarkan tubuhnya pada pilar besar rumah Chika. Aran memejamkan matanya saat terdengar suara petir, mendung diatas sana seakan menyatu dengan derasnya hujan di hatinya. Kerasnya kilatan petir sama gemuruhnya dengan suasana hatinya, untuk pertama kalinya Aran tidak menyukai mendung setelah selama ini memuji kesejukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE (END)
Teen FictionSebuah janji yang teringkari, cinta yang di paksa berhenti, dan rindu yang harus di pendam sendiri.