Aran menepikan mobilnya di pinggir jalan sisi kiri, mematikan mesin lalu menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran. Matanya terpejam rapat, otot tanganya nampak jelas menegang mengenggam stir mobil begitu erat. Sesuatu kembali menganggu pikirannya, bahkan terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Tidak ada yang lebih penting dari kesehatan mental anak saya, dia masih ada ada, dia sehat, namun saya kehilangan keceriaan di wajahnya. Saya menerima permintaan maaf kamu, saya berterimakasih untuk niat baik kamu yang ingin bertanggung jawab, tapi maaf, saya tidak bisa memaksa apa yang menjadi keputusan dia. Dia mungkin sudah rusak namun dia tetap anak saya yang akan saya prioritaskan kebahagiaan dan ketenangannya. Jika kamu serius dan mau berjuang, buat dia terima kamu tanpa paksaan, buat dia kembali percaya tanpa harus membuatnya terluka."
Seperti daun yang gugur, hatinya sepasrah itu untuk jatuh. Melayang terbang lalu hanyut sarsapu ombak. Kalimat yang menyesakkan, Aran bahkan masih ingat bagaimana cara Pucco menyuarakan kalimat itu. Gurat wajah penuh harap, sorot mata teduh dan suara yang tegas. Aran tak hanya melukai Chika, tapi ia telah melukai semua keluarga Chika.
Matanya kembali terbuka, Aran menatap jalanan dengan tatapan kosong. Andai, andai semua itu tidak terjadi, andai ia bisa lebih menahan diri, atau paling tidak bisa mengendalikan emosi untuk tidak minum, mungkin semuanya masih baik baik saja. Ia akan jadi pria paling beruntung karena memiliki kekasih seperti Yessica Tamara. Namun sayangnya, satu kesalahan menghancurkan semuanya, meruntuhkan mimpi mimpi yang pernah mereka rangkai bersama. Bagaimana mungkin mimpi itu masih berdiri utuh jika salah satu pondasinya runtuh, tentu semua akan hancur tanpa menyisahkan sedikitpun.
Aran membuang napasnya perlahan, tanganya bergerak membuka kaca mobil membiarkan angin dengan bebas menyapu seluruh wajahnya. Aran meraih satu batang rokok di atas dasbor dan menyelipkan di antara lipatan bibirnya. Asap langsung mengembul keluar begitu Aran menyalakan pemantik pada rokoknya.
Getaran di saku membuat Aran mau tak mau mengambil ponsel untuk melihat siapa yang menelepon. Tanpa pikir panjang Aran langung mengangkangat telepon dari Fiony.
"Iya, Fio, kenapa?"
"Kamu dimana Ran, aku sama Zee mau jalan-jalan keluar kamu gak mau ikut?"
Aran menghisap dalam rokoknya sebelum mengembuskan semua asap yang memenuhi mulutnya, "Lain kali ya Fio, aku lagi gak bisa. Tadi Zee udah berangkat jemput kamu, mungkin bentar lagi dia sampai."
"Tadi kamu sama Zee pergi kemana?"
"Ke rumah Chika."
"Terus, kamu di maafin?"
"Nanti ya Fio aku ceritanya. Aku tutup dulu teleponnya, have fun ya kalian."
Fiony mengembuskan napasnya saat sambungan telepon itu di matikan sepihak oleh Aran. Bertepatan dengan itu sebuah motor ninja hitam berhenti di depannya, pemilik motor membuka helm dan langsung tersenyum.
"Aku kira tadi siapa eeh ternyata bidadari kompleks. Selamat malam Ce Pio." Zee terkekeh pelan saat kepalanya di dorong lembut oleh Fiony, tanganya meraih tangan Fiony di kepalanya lalu Zee genggam dengan paksa. Senyumnya tak pudar menatap kecantikan Fiony yang terpancar dari wajahnya.
"Apa ini pegang pegang."
"Cantik banget sih Ce, jadi pacar aku yuk."
"Apa sih Zee, gaje banget, udah ah jadi jalan gak?" Fiony melepas paksa genggaman mereka, lalu menatap pria itu yang masih aja tertawa, apa ada yang lucu? "Kenapa sih ketawa terus?"
"Lucu banget salting, gemas." Zee mencubit hidung Fiony sekilas sebelumnya menyerahkan helm untuk gadis itu kenakan.
"Ganti lagi motornya, perasaan yang kemarin bukan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE (END)
Teen FictionSebuah janji yang teringkari, cinta yang di paksa berhenti, dan rindu yang harus di pendam sendiri.