Semakin malam, langit berubah semakin menghitam. Hujan yang tadi sempat menerpa kini mulai reda menyisahkan gerimis kecilnya. Aran tersenyum sendu menatap kelamnya langit, membiarkan tubuhnya menggigil dingin terkena sapuan angin. Aran selalu sendiri namun malam ini ia merasa begitu sepi, suara cadel nan menggemaskan itu tidak lagi terdengar ketika menyambutnya pulang, atau rengekan manja yang meminta di belikan mainan. Aran merasa hidupnya semakin suram tanpa suara berisik dari Kathrina, ia merindukan gadis kecil itu, ternyata ia tidak cukup kuat tanpa kehadiran adik kecilnya itu.
"Ran woy, bukain pintu cepatt."
Aran sedikit terlonjak mendengar suara keras itu, di susul suara ketukan pintu yang lebih pantas di sebut dobrakan. Manusia gila mana yang bertamu malam-malam dangan cara sangat sopan seperti ini.
"Gue tau lo belum tidur ya Aran, bukain cepett."
Tak kuat mendengar suara berisik itu Aran berjalan kearah pintu untuk membukanya, tepat setelah pintu terbuka ada tiga manusia yang langsung jatuh ke atas lantai. "Kalian ngapain?" Aran menatap ketika sahabatnya seraya meringis.
Onil bergerak duduk seraya mengelus kepalanya yang tadi mencium lantai.
"Kasih aba-aba kek kalau mau buka, sakit anjing pala gue.""Lo ngapain masih di atas gue Dey, bangun, sakit badan gue." sama seperti Onil, Zee meringis sakit apalagi saat Dey terjatuh menindihnya.
Aran menatap mereka bertiga yang kini berdiri tegak di depannya. Lalu menggeleng kepala melihat Zee berdiri dengan gulungan selimut di tubuhnya. Apa Zee membawa selimut dari rumah kesini?
"Semua ini gara-gara selimut laknat lo itu Zee kita jatuh." desis Adey karena tubuhnya pun ikut merasakan sakit karena jatuh.
"Gue tebak pasti kalian mau nginep, apal banget gue." Aran memutar malas bola matanya kemudian menutup pintu dan menguncinya, Aran berjalan kearah ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana. Aran memejamkan matanya seraya mengehela napas, Aran tau kedatangan mereka kesini untuk menghiburnya, mereka tidak akan membiarkanya merasa sendiri. Aran tersenyum dalam pejaman matanya, setidaknya ia bersyukur memiliki mereka, sahabatnya itu masih ada disaat semua orang perlahan pergi meninggalkan.
"Dingin banget Ran, gue kedinginan." Zee melompat dan langsung tidur memeluk Aran, hawa dingin dari luar serasa masih bisa ia rasakan.
Sedangkan Onil dan Adey, dua pria itu langsung menuju ruang game di kamar Aran, kebiasaan mereka ketika main pasti tidak lepas dari game. "Ran, stik terbaru lo dimana, gue mau main nih sama Adey."
"Cari aja, gak akan jalan sendiri juga tuh stik." balas Aran sesekali menyingkirkan tangan Zee yang memeluknya erat.
"Lo gak mau main juga Ran, males sama Onil soalnya noob banget die."
"Gak dulu deh, bosen. Zee, bisa minggir gak tuh kaki, gue yang ngeri lo peluk peluk."
Zee tertawa tanpa melepas pelukan, tidak bohong jika ia sangat kedinginan, dan posisi seperti inilah yang bisa menghangatkan. "Gue tau lo juga kedinginan Ran, udahlah kita saling menghangatkan aja."
"Hati-hati Ran, belasan tahun jomblo biasanya gay."
"Bacot lo Dey, udah sana main aja, gak ada ps kan di rumah lo."
"Mampus langung di ulti." Onil tertawa keras tanpa peduli dengan tatapan Adey. Onil mengalihkan pandangan ke ranjang dan benar, Zee tidak membiarkan Aran lepas, Onil menahan tawa karena ekspresi wajah Aran yang sangat tertekan.
"Ini lo nginep gak di marahin Tante Shania?" Aran sudah pasrah tubuhnya di jadikan guling dadakan, jujur ia juga merasa dingin setelah tadi berdiam lama di balkon.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE (END)
Teen FictionSebuah janji yang teringkari, cinta yang di paksa berhenti, dan rindu yang harus di pendam sendiri.