21

2.1K 239 24
                                    

"Gimana perasaan kamu lihat berita tentang kedua orang tua kamu?" seorang pria duduk di samping perempuan yang matanya terfokus mantap layar tv, menyerahkan segelas susu untuk perempuan itu minum.

Perempuan itu menoleh lalu tersenyum menerima gelas itu, "Aku biasa aja, hanya saja aku memikirkan adik-adik aku, terutama Aran, dia pasti terpukul." senyumannya menghilang, tatapannya berubah sendu menatap layar tv yang tidak ada habisnya membicarakan rumah tangga kedua orangtuanya.

"Kalau kamu di suruh milih, kamu pilih tinggal bareng siapa? Papa atau Mama kamu?"

"Aku tidak memilih keduanya karena mereka sama-sama bersalah. Papa dengan sikap keras dan otoriternya dan Mama yang terlalu sibuk bergelut dangan dunianya sendiri. Aku tidak menemukan kehangatan sewaktu bersama mereka, aku berusaha mencari kebahagiaan sendiri sampai aku mempunyai adik."

"Aran?" pria itu menebak.

"Iya, Aran, adik kecil yang sangat penurut. Meski dia seorang adik dia selalu berusaha untuk jaga aku, dia memiliki jiwa tanggung jawab yang besar. Dan Kathrina, dia masih begitu kecil ketika aku keluar dari rumah." tubuhnya ia pasrahkan pada dada bidang pria itu, bergelut mencari kenyamanan disana.

"Apa kamu tidak berniat untuk kembali, mereka masih tidak berhenti mencari kamu. Aku khawatir keberadaan kita akan tercium meski kemungkinannya sangat kecil." pria itu mencium singkat pucuk kepala yang bersandar di dadanya.

"Aku tidak akan kembali ke tempat yang tidak bisa menerima aku lagi."

"Tidak ada orang tua yang bener-benar tega mengusir anaknya. Apa yang mereka lakukan adalah reaksi wajar lihat anaknya hamil di luar nikah."

"Sampai harus menyuruhku menjadi seorang pembunuh?" perempuan itu menggeleng, kepalanya menoleh menatap anak kecil yang tertidur anteng diatas ranjang. "Aku tidak akan melihat dia kalau saja dulu menuruti keinginannya."

"Cin, mereka-"

"Aku menyalahkan perbuatanku tapi aku tidak membenarkan perbuatan mereka, bagaimana mungkin mereka menyuruhku membunuh anakku sendiri." Cindy menegakan kembali tubuhnya, meraih remot tv dan mematikanya.

"Kamu gak mau ketemu Aran? Aku denger dia di rawat."

Cindy diam beberapa saat, mengaturnya emosi yang sempat terpancing.

"Aku mencari tahu dan dia melakukan hal sama seperti aku, bedanya dia tidak sampai menghamili."

"Chika?"

"Iya, Yessica Tamara."

Cindy menangkup wajah dengan kedua tanganya, napasnya berembus berat. Ia tidak tega membayang seseram apa Keynal saat mengetahui hal itu. Aran pasti di hajar habis habisan oleh Papanya.

"Dari dulu, Aran selalu menjadi korban kekerasan dari Papa. Dia yang selalu jadi sasaran kemarahan Papa."
Cindy pasrah saat kepalaanya di tarik untuk kembali bersandar pada suaminya, tatapannya matanya berubah kosong, Cindy menyimpan khawatiran pada adik laki-lakinya.
"Papa gak bisa pukul aku ataupun Mama, karena itu dia lampiasin semuanya pada Aran, hanya karena Aran anak laki satu-satunya di rumah."

"Adik kamu hebat, dia akan tumbuh menjadi pria yang kuat."

Cindy menangis dalam pelukan pria yang beberapa tahun lalu mengikatnya dengan tali pernikahan, ayah dari anaknya saat ini.

"Aku tau dia selalu nyari aku, tapi aku belum bisa ketemu sama dia."
Cindy menekan dadanya yang di rundung rasa sesak.
"Dia butuh kakaknya tapi justru aku malah pergi dari dia."

"Aku tau kamu pengen ketemu sama Aran, kamu kangen sama dia dan pengen nguatin dia. Aku siapin tiket pesawat ya, kamu pergi ke Jakarta dan temui Aran. Biar disini aku yang jaga Eve,"

PROMISE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang