"Kayaknya aku harus siap untuk di bandingin lagi deh." Zee berucap setelah tubuhnya bersandar pada tiang halte, menatap Fiony yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Zee tebak, gadis itu sedang meminta jemputan.
Fiony menoleh sedikit terkejut, "Zee, kapan kamu di situ kok aku gak tau?"
"Baru sih, tadi aku lihat siapa itu sendirian di halte eeh ternyata kamu, yaudah aku samperin." Zee mengedarkan pandangan dan melihat jika sekitar halte sudah sangat sepi, para siswa sudah banyak yang pulang
sejak tadi."Kata Marsha kamu selalu jadi peringkat satu di kelas, lalu kenapa takut untuk di bandingkan?"
"Kayaknya nanti gak lagi deh kan ada kamu." Zee beralih duduk di samping Fiony, "Aku selalu kalah kalau sama kamu, apalagi sekarang, pasti kamu jauh lebih pintar lagi." Zee terkekeh pelan semberi mengingat waktu mereka masih di SMP dulu. Dimana ia dan Fiony selalu bersaing untuk dapat peringkat satu di kelas namun tidak pernah sekalipun Zee menandingi kepintaran gadis itu, Fiony selalu jadi yang pertama. Karena itu, Shania, bundanya selalu membandingkan kepintarannya dengan Fiony, di tambah lagi tempat tinggal mereka yang sekomplek.
Fiony di buat terkekeh, menurutnya Zee terlalu berlebihan memujinya, "Kalau gitu sekarang kamu belajar lebih keras lagi untuk mempertahankan peringkat kamu."
"Harusnya sih. Eeh, kamu lagi nunggu jemputan ya, aku perhatikan udah lama kamu duduk disini."
Fiony mengganti senyumnya dengan raut wajah sedikit lelah, "Bunda bilang nanti dia mau jemput, sekarang aku telfonin malah ponselnya gak aktif." Fiony sedikit menyesal menolak ajakan Marsha yang akan mengantarnya pulang karena ia pikir bundanya akan tepat waktu menjemputnya.
"Pasti Tante Shani gak tau sekolah pulang cepet hari ini makanya dia telat, atau mungkin kamu akan di jemput di jam pulang normal?"
"Kayaknya sih iya, karena pasti sekarang Bunda lagi ikut beresin rumah." Fiony memasukan ponsel ke tasnya karena percuma saja, bundanya itu pasti sedang sibuk sehingga susah untuk di hubungi. "Kamu sendiri kenapa masih disini Zee? Sekolah udah sepi loh."
"Nungguin kamu, siapa tau kamu butuh tumpangan." jawab Zee apa adanya.
"Hehehe, makasih tapi kayaknya aku mau naik taxi aja deh." beberapa tahun tidak bertemu membuat Fiony canggung jika tiba-tiba harus pulang bersama, ya meskipun dulunya mereka sangat dekat dan akrab.
"Kamu masih tinggal di rumah yang sama atau pindah?"
"Di rumah yang sama sih."
"Yaudah bareng aja, aku juga mau pulang ini." Zee berdiri dari duduknya dan menatap Fiony, "Tunggu bentar ya aku ambil motor dulu."
"Ini beneran gapapa kamu nganterin aku? Gak ngerepotin?"
"Sejak kapan aku pernah merasa di repoti kamu. Lagian rumah kita deket, sayang banget kalau uang kamu harus kebuang buat naik taxi, mending bareng aku aja." Zee tersenyum tengil sebelum melangkah pergi untuk mengambil motornya yang masih di parkiran sekolah. Sudah lama berpisah tentu saja Zee ingin kembali dekat dengan sahabatnya, andai Aran tidak bersama Chika mungkin mereka bisa menghabiskan waktu bersama.
Aran berhasil membawa Chika ke danau yang sering mereka kunjungi. Aran ingin menunjukkan pada Chika jika hubungan mereka benar-benar ada dan nyata. Danau ini yang menjadi saksi jika dulu merasa saling mencinta, bahkan berjanji untuk selalu bersama.
Lebih dari lima menit mereka berdiri namun belum ada suara dari mereka yang terdengar selain rindangnya suara pepohonan yang tertiup angin.
Aran dan Chika sama-sama terdiam dengan perasaan yang mungkin saja sudah berbeda, hanya suara angin dan kicauan burung yang terdengar memecah keheningan.Chika tak mengalihkan pandangannya pada jembatan di depannya, terlihat banyak sekali balon yang berjejer di sepanjang jembatan. Seakan-akan tempat ini sudah di setting dan di persiapkan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE (END)
Teen FictionSebuah janji yang teringkari, cinta yang di paksa berhenti, dan rindu yang harus di pendam sendiri.